Kamis, 13 Oktober 2011

OPTIMASI HARGA KESEPAKATAN TERNA DAN MINYAK NILAM UNTUK MENUNJANG PROGRAM CULTIVA




OPTIMASI HARGA KESEPAKATAN TERNA DAN MINYAK NILAM UNTUK MENUNJANG PROGRAM CULTIVA

Oleh : Chandra Indrawanto dan JT. Yuhono
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik


Abstrak

Industri minyak atsiri saat ini dicirikan dengan harga yang sangat fluktuatif. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi semua pihak. Produsen menanggung resiko pendapatan yang tidak pasti bahkan kemungkinan merugi, sedangkan konsumen yang merupakan produsen personal/home care product seperti sabun, deterjen dan minyak wangi menanggung resiko biaya produksi yang tidak pasti. Program cultiva dengan prinsip perdagangan yang adil, transparansi dan tanpa spekulasi adalah suatu cara mengatasi hal tersebut. Program ini akan berhasil jika petani dan penyuling mendapatkan harga yang memberikan keuntungan yang memadai. Pada industri minyak nilam, hasil analisis finansial menunjukkan usahatani nilam akan berada pada kondisi BEP pada harga terna Rp 1.900/kg, pada kondisi tersebut usaha penyulingan juga akan berada pada kondisi BEP pada harga minyak Rp 209.000/kg. Apabila ditargetkan bahwa pendapatan petani nilam mencapai Rp 24 juta /ha/tahun, maka terna nilam yang dihasilkan harus dihargai Rp 4.400/kg, dengan harga tersebut B/C ratio usahatani nilam 3,08. Pada kondisi tersebut, jika ditargetkan pula pendapatan penyuling sebesar Rp 24 juta per tahun, maka produk minyak nilam yang dihasilkan harus dihargai Rp 378.000/kg, dengan harga tersebut B/C ratio agroindustri penyulingan 3,94.

Kata Kunci: Nilam, Cultiva, Optimasi, Harga

Pendahuluan

Minyak nilam digunakan sebagai bahan campuran pembuatan kosmetik, aroma terapi yang berfungsi sebagai zat pengikat/fixative agent dan farmasi. Dengan berkembangnya berbagai industri kosmetika, wewangian, farmasi dan kebutuhan dasar industri lainnya mendorong semakin meningkatnya kebutuhan minyak nilam baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Minyak nilam merupakan komoditas utama ekspor minyak atsiri Indonesia. Oleh sebab itu pengelolaan tanaman nilam dan minyak nilam harus dilaksanakan secara profesional dan berkelanjutan.

Pembangunan industri nilam (Pogostemon sp.) akan berhasil jika memberikan keuntungan yang pasti dan layak bagi pelaku-pelaku agribisnis nilam terutama petani nilam dan pengusaha penyuling minyak nilam. Salah satu kendala utama untuk tercapainya kepastian keuntungan tersebut adalah fluktuasi harga minyak nilam yang sangat tinggi dan sering terjadi yang berakibat pula pada fluktuasi harga terna nilam. Untuk mengatasi kendala tersebut, telah diluncurkan program cultiva nilam yang mengatur harga pembelian terna dan minyak nilam dari petani hingga pemakai akhir.

Dengan prinsip GAP, GMP, fairly trade, peniadaan perdagangan spekulatif, transparansi dan keikutsertaan secara sukarela, diharapkan akan tercapai kesepakatan harga pada tingkat yang wajar diantara pelaku industri nilam yang tergabung dalam program cultiva (Rusli, 2008). Untuk mengetahui berapa harga terna dan minyak nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi pelakunya maka perlu dilakukan analisis finansial agribisnis nilam dari usahatani hingga usaha agroindustri penyulingan minyak nilam.

Bahan dan Metode

Penentuan harga terna dan minyak nilam dilakukan berdasarkan hasil yang bisa didapat oleh petani dan pengusaha penyuling jika menerapkan GAP dan GMP. Data masukan dan hasil produksi usahatani dengan menerapkan GAP didapat dari hasil penelitian Balittro yang, bekerjasama dengan Ditjenbun, dituangkan dalam buku prosedur operasional standar budidaya nilam (Anonim, 2008), ditunjang hasil pengamatan usahatani dan penyulingan di Kabupaten Garut hasil penelitian Indrawanto dan Mauludi (2004). Sedangkan untuk mendapatkan harga terna dan minyak nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi petani dan pengusaha penyulingan dilakukan dengan memakai analisis finansial dengan indikator NPV, B/C ratio dan IRR.

Hasil dan Pembahasan

Program cultiva nilam merupakan ajang kerjasama perdagangan lima stakeholder yang terlibat, yaitu petani sebagai produsen bahan baku, penyuling sebagai pengolah terna menjadi minyak nilam, koperasi/badan swasta sebagai penampung minyak nilam dari penyuling, champion sebagai pembeli minyak nilam dari koperasi yang kemudian akan menjualnya kepada pemakai akhir di dalam ataupun luar negeri. Semua stakeholder yang terlibat tersebut bersepakat untuk mengatur harga antar mereka agar tidak terjadi fluktuasi harga yang tidak menguntungkan bagi semua pihak. Tingkat harga disetiap jenjang rantai tataniaga nilam tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Harga terna nilam yang diterima petani ditentukan berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi terna ditambah keuntungan yang wajar bagi petani, harga minyak nilam yang diterima petani ditentukan berdasarkan harga pembelian terna nilam ditambah biaya memproduksi minyak nilam dan keuntungan yang wajar bagi penyuling, harga minyak nilam yang diterima koperasi/badan swasta selaku pedagang pengumpul ditentukan berdasarkan harga pembelian minyak nilam dari penyuling ditambah biaya operasional dan keuntungan yang wajar bagi koperasi/badan swasta, harga minyak nilam yang diterima champion ditentukan berdasarkan harga pembelian minyak nilam dari koperasi/badan swasta ditembah biaya operasional dan keuntungan yang wajar bagi champion. Harga ditingkat champion ini merupakan harga akhir yang harus dibayarkan oleh pemakai minyak nilam (Gambar 1). Harga akhir yang tinggi tentunya akan memberatkan pemakai akhir, sedangkan harga akhir yang rendah tentunya akan memberatkan stakeholder lainnya karena akan menerima tingkat keuntungan yang rendah. Kedua kondisi tersebut tentunya akan berakibat pada tidak berjalannya program cultiva. Oleh karena itu perlu dicari tingkat harga yang seimbang dan adil bagi seluruh stakeholder.



Harga Kesepakatan Terna Nilam

Untuk menentukan harga terna nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi petani nilam, perlu dicari biaya produksi terna nilam per kg. Dengan asumsi usahatani dengan menerapkan GAP, skala produksi 1 ha dan masa tanam 2 tahun, biaya tenaga kerja Rp 25.000 per hari, harga pupuk kandang Rp 400 per kg, harga urea Rp 2.350 per kg, harga SP-36 Rp 2.650 per kg, harga KCl Rp 2.800 per kg

dan produksi terna nilam kering 10,9 ton per hektar per tahun, didapat dari hasil analisis finansial, harga pokok produksi terna nilam Rp 1748 per kg dan kondisi break event point (BEP) dengan tingkat discount factor 1% per bulan akan terjadi pada tingkat harga terna nilam Rp 1900 per kg. Selisih antara harga BEP dengan harga pokok produksi menunjukkan tingkat keuntungan yang bisa didapat petani jika menginvestasikan modalnya ditempat lain yang tanpa resiko, misal pada tabungan atau deposito di Bank. Dengan demikian, harga terna nilam haruslah harga pada kondisi BEP ditambah keuntungan yang wajar (premium) bagi petani karena menanggung resiko kegagalan panen. Apabila ditargetkan keuntungan usahatani sebesar Rp 24 juta per ha per tahun (Gunawan, 2008), maka harga terna nilam haruslah sebesar Rp 4400 per kg (tabel 1).



Hasil analsis sensitifitas menunjukkan perubahan pada harga input maupun pada tingkat produktivitas akan mempengaruhi pendapatan petani. Dengan harga terna tetap sebesar Rp 4.400 per kg, peningkatan upah tenaga kerja sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 2,5%, peningkatan harga pupuk kandang sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 3,1%, peningkatan harga seluruh pupuk kimia sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 0,7%, sedangkan jika produksi terna per hektar turun sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 17,6%.

Harga Kesepakatan Minyak Nilam

Untuk mendapatkan harga minyak nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi penyulling, perlu dicari biaya penyulingan minyak nilam per kg. Dengan asumsi penyuling menerapkan GMP, kapasitas ketel 2000 liter, jangka waktu usaha 20 tahun, dua kali suling per hari dan 25 hari per bulan, tingkat rendemen 2,02%, harga minyak tanah untuk bahan bakar Rp 3.000 per liter, discount factor 12% per tahun, dan harga terna nilam Rp 4.400 per kg, didapat dari hasil analisis finansial, harga pokok produksi minyak nilam Rp 291.453 per kg, dan kondisi BEP akan terjadi pada harga minyak nilam Rp 347.700 per kg. Dengan demikian, harga minyak nilam haruslah harga pada kondisi BEP ditambah keuntungan yang wajar (premium) bagi penyuling karena menanggung resiko produksi. Apabila ditargetkan keuntungan usaha penyulingan sebesar Rp 24 juta per tahun seperti target keuntungan usahatani, maka harga minyak nilam haruslah sebesar Rp 378.000 per kg (tabel 2).



Hasil analisis sensitifitas menunjukkan perubahan pada harga input maupun tingkat rendemen akan mempengaruhi pendapatan penyuling. Dengan tingkat harga terna Rp 4.400 per kg dan harga minyak nilam Rp 378.000 per kg, peningkatan harga bahan bakar minyak tanah sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 19,1%, peningkatan upah tenaga kerja penyulingan sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 6,8%, dan setiap penurunan rendemen sebesar 0,01% akan menurunkan pendapatan sebesar 8,1%.

Kesimpulan

Penentuan harga terna nilam dan minyak nilam ditingkat penyuling yang memberikan keuntungan yang wajar sangatlah penting untuk terlaksananya program cultiva nilam. Pada penentuan harga terna nilam perlu diperhatikan dua faktor utama yang sangat mempengaruhi yaitu penetapan asumsi tingkat produktivitas terna nilam yang wajar yang dapat dihasilkan petani sesuai dengan kondisi lapang walaupun sudah menerapkan GAP, hal ini karena penurunan realisasi produkstivitas terna sebesar 10% dari asumsi tingkat produktivitas akan menurunkan keuntungan yang diterima petani sebesar 17,6%. Kedua, penetapan tingkat keuntungan yang seharusnya diterima petani per tahun dari setiap hektar pertanaman nilamnya.

Sedangkan pada penentuan harga minyak nilam, dua faktor yang perlu diperhatikan adalah, pertama, penetapan tingkat keuntungan per tahun yang seharusnya diterima penyuling. Kedua, penetapan asumsi tingkat rendemen minyak yang dihasilkan. Tingkat rendemen ini dapat berfluktuatif walaupun penyuling telah menerapkan GMP karena sangat dipengaruhi oleh kualitas terna dan tingkat teknologi penyulingannya. Hal ini karena penurunan tingkat rendemen yang didapat sebesar 0,01% dari asumsi tingkat rendemen yang ditetapkan akan menurunkan keuntungan yang didapat penyuling sebesar 8,1%.

Selain faktor-faktor tersebut diatas, harga kesepakatan yang telah ditetapkan harus selalu ditinjau ulang secara berkala untuk disesuaikan dengan perubahan harga masukan dalam proses produksi. Pada penentuan harga terna nilam, harga masukan yang perlu ditinjau, diurut dari yang sangat mempengaruhi, adalah harga pupuk kandang, upah tenaga kerja, harga pupuk kimia (urea, TSP dan KCl). Sedangkan pada penentuan harga minyak nilam ditingkat penyuling, harga masukan yang perlu ditinjau, diurut dari yang sangat mempengaruhi, adalah harga bahan bakar minyak tanah dan tingkat upah penyuliungan.

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Prosedur Operasional Standar Budidaya Nilam. Kerjasama Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Balittro. Jakarta.

Gunawan, W. 2008. Kultiva sebagai implementasi klaster minyak atsiri. Makalah pada Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Daerah Potensial Minyak Atsiri di Jawa Timur, diselenggarakan Dirjen IKM dan DaI di Malang 17-18 Nopember 2008.

Indrawanto, C dan L. Mauludi. 2004. Strategi Pengembangan Industri Nilam Indonesia. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, Balittro – Bogor.

Rusli, M.S. 2008. Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Minyak Atsiri. Makalah pada Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Daerah Potensial Minyak Atsiri di Jawa Timur, diselenggarakan Dirjen IKM dan DaI di Malang 17-18 Nopember 2008.

Sumber : http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/atsiri-nilam/chandra-indrawanto-dan-jt-yuhono-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar