Kamis, 13 Oktober 2011

OPTIMASI HARGA KESEPAKATAN TERNA DAN MINYAK NILAM UNTUK MENUNJANG PROGRAM CULTIVA




OPTIMASI HARGA KESEPAKATAN TERNA DAN MINYAK NILAM UNTUK MENUNJANG PROGRAM CULTIVA

Oleh : Chandra Indrawanto dan JT. Yuhono
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik


Abstrak

Industri minyak atsiri saat ini dicirikan dengan harga yang sangat fluktuatif. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi semua pihak. Produsen menanggung resiko pendapatan yang tidak pasti bahkan kemungkinan merugi, sedangkan konsumen yang merupakan produsen personal/home care product seperti sabun, deterjen dan minyak wangi menanggung resiko biaya produksi yang tidak pasti. Program cultiva dengan prinsip perdagangan yang adil, transparansi dan tanpa spekulasi adalah suatu cara mengatasi hal tersebut. Program ini akan berhasil jika petani dan penyuling mendapatkan harga yang memberikan keuntungan yang memadai. Pada industri minyak nilam, hasil analisis finansial menunjukkan usahatani nilam akan berada pada kondisi BEP pada harga terna Rp 1.900/kg, pada kondisi tersebut usaha penyulingan juga akan berada pada kondisi BEP pada harga minyak Rp 209.000/kg. Apabila ditargetkan bahwa pendapatan petani nilam mencapai Rp 24 juta /ha/tahun, maka terna nilam yang dihasilkan harus dihargai Rp 4.400/kg, dengan harga tersebut B/C ratio usahatani nilam 3,08. Pada kondisi tersebut, jika ditargetkan pula pendapatan penyuling sebesar Rp 24 juta per tahun, maka produk minyak nilam yang dihasilkan harus dihargai Rp 378.000/kg, dengan harga tersebut B/C ratio agroindustri penyulingan 3,94.

Kata Kunci: Nilam, Cultiva, Optimasi, Harga

Pendahuluan

Minyak nilam digunakan sebagai bahan campuran pembuatan kosmetik, aroma terapi yang berfungsi sebagai zat pengikat/fixative agent dan farmasi. Dengan berkembangnya berbagai industri kosmetika, wewangian, farmasi dan kebutuhan dasar industri lainnya mendorong semakin meningkatnya kebutuhan minyak nilam baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Minyak nilam merupakan komoditas utama ekspor minyak atsiri Indonesia. Oleh sebab itu pengelolaan tanaman nilam dan minyak nilam harus dilaksanakan secara profesional dan berkelanjutan.

Pembangunan industri nilam (Pogostemon sp.) akan berhasil jika memberikan keuntungan yang pasti dan layak bagi pelaku-pelaku agribisnis nilam terutama petani nilam dan pengusaha penyuling minyak nilam. Salah satu kendala utama untuk tercapainya kepastian keuntungan tersebut adalah fluktuasi harga minyak nilam yang sangat tinggi dan sering terjadi yang berakibat pula pada fluktuasi harga terna nilam. Untuk mengatasi kendala tersebut, telah diluncurkan program cultiva nilam yang mengatur harga pembelian terna dan minyak nilam dari petani hingga pemakai akhir.

Dengan prinsip GAP, GMP, fairly trade, peniadaan perdagangan spekulatif, transparansi dan keikutsertaan secara sukarela, diharapkan akan tercapai kesepakatan harga pada tingkat yang wajar diantara pelaku industri nilam yang tergabung dalam program cultiva (Rusli, 2008). Untuk mengetahui berapa harga terna dan minyak nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi pelakunya maka perlu dilakukan analisis finansial agribisnis nilam dari usahatani hingga usaha agroindustri penyulingan minyak nilam.

Bahan dan Metode

Penentuan harga terna dan minyak nilam dilakukan berdasarkan hasil yang bisa didapat oleh petani dan pengusaha penyuling jika menerapkan GAP dan GMP. Data masukan dan hasil produksi usahatani dengan menerapkan GAP didapat dari hasil penelitian Balittro yang, bekerjasama dengan Ditjenbun, dituangkan dalam buku prosedur operasional standar budidaya nilam (Anonim, 2008), ditunjang hasil pengamatan usahatani dan penyulingan di Kabupaten Garut hasil penelitian Indrawanto dan Mauludi (2004). Sedangkan untuk mendapatkan harga terna dan minyak nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi petani dan pengusaha penyulingan dilakukan dengan memakai analisis finansial dengan indikator NPV, B/C ratio dan IRR.

Hasil dan Pembahasan

Program cultiva nilam merupakan ajang kerjasama perdagangan lima stakeholder yang terlibat, yaitu petani sebagai produsen bahan baku, penyuling sebagai pengolah terna menjadi minyak nilam, koperasi/badan swasta sebagai penampung minyak nilam dari penyuling, champion sebagai pembeli minyak nilam dari koperasi yang kemudian akan menjualnya kepada pemakai akhir di dalam ataupun luar negeri. Semua stakeholder yang terlibat tersebut bersepakat untuk mengatur harga antar mereka agar tidak terjadi fluktuasi harga yang tidak menguntungkan bagi semua pihak. Tingkat harga disetiap jenjang rantai tataniaga nilam tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Harga terna nilam yang diterima petani ditentukan berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi terna ditambah keuntungan yang wajar bagi petani, harga minyak nilam yang diterima petani ditentukan berdasarkan harga pembelian terna nilam ditambah biaya memproduksi minyak nilam dan keuntungan yang wajar bagi penyuling, harga minyak nilam yang diterima koperasi/badan swasta selaku pedagang pengumpul ditentukan berdasarkan harga pembelian minyak nilam dari penyuling ditambah biaya operasional dan keuntungan yang wajar bagi koperasi/badan swasta, harga minyak nilam yang diterima champion ditentukan berdasarkan harga pembelian minyak nilam dari koperasi/badan swasta ditembah biaya operasional dan keuntungan yang wajar bagi champion. Harga ditingkat champion ini merupakan harga akhir yang harus dibayarkan oleh pemakai minyak nilam (Gambar 1). Harga akhir yang tinggi tentunya akan memberatkan pemakai akhir, sedangkan harga akhir yang rendah tentunya akan memberatkan stakeholder lainnya karena akan menerima tingkat keuntungan yang rendah. Kedua kondisi tersebut tentunya akan berakibat pada tidak berjalannya program cultiva. Oleh karena itu perlu dicari tingkat harga yang seimbang dan adil bagi seluruh stakeholder.



Harga Kesepakatan Terna Nilam

Untuk menentukan harga terna nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi petani nilam, perlu dicari biaya produksi terna nilam per kg. Dengan asumsi usahatani dengan menerapkan GAP, skala produksi 1 ha dan masa tanam 2 tahun, biaya tenaga kerja Rp 25.000 per hari, harga pupuk kandang Rp 400 per kg, harga urea Rp 2.350 per kg, harga SP-36 Rp 2.650 per kg, harga KCl Rp 2.800 per kg

dan produksi terna nilam kering 10,9 ton per hektar per tahun, didapat dari hasil analisis finansial, harga pokok produksi terna nilam Rp 1748 per kg dan kondisi break event point (BEP) dengan tingkat discount factor 1% per bulan akan terjadi pada tingkat harga terna nilam Rp 1900 per kg. Selisih antara harga BEP dengan harga pokok produksi menunjukkan tingkat keuntungan yang bisa didapat petani jika menginvestasikan modalnya ditempat lain yang tanpa resiko, misal pada tabungan atau deposito di Bank. Dengan demikian, harga terna nilam haruslah harga pada kondisi BEP ditambah keuntungan yang wajar (premium) bagi petani karena menanggung resiko kegagalan panen. Apabila ditargetkan keuntungan usahatani sebesar Rp 24 juta per ha per tahun (Gunawan, 2008), maka harga terna nilam haruslah sebesar Rp 4400 per kg (tabel 1).



Hasil analsis sensitifitas menunjukkan perubahan pada harga input maupun pada tingkat produktivitas akan mempengaruhi pendapatan petani. Dengan harga terna tetap sebesar Rp 4.400 per kg, peningkatan upah tenaga kerja sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 2,5%, peningkatan harga pupuk kandang sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 3,1%, peningkatan harga seluruh pupuk kimia sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 0,7%, sedangkan jika produksi terna per hektar turun sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 17,6%.

Harga Kesepakatan Minyak Nilam

Untuk mendapatkan harga minyak nilam yang memberikan keuntungan yang wajar bagi penyulling, perlu dicari biaya penyulingan minyak nilam per kg. Dengan asumsi penyuling menerapkan GMP, kapasitas ketel 2000 liter, jangka waktu usaha 20 tahun, dua kali suling per hari dan 25 hari per bulan, tingkat rendemen 2,02%, harga minyak tanah untuk bahan bakar Rp 3.000 per liter, discount factor 12% per tahun, dan harga terna nilam Rp 4.400 per kg, didapat dari hasil analisis finansial, harga pokok produksi minyak nilam Rp 291.453 per kg, dan kondisi BEP akan terjadi pada harga minyak nilam Rp 347.700 per kg. Dengan demikian, harga minyak nilam haruslah harga pada kondisi BEP ditambah keuntungan yang wajar (premium) bagi penyuling karena menanggung resiko produksi. Apabila ditargetkan keuntungan usaha penyulingan sebesar Rp 24 juta per tahun seperti target keuntungan usahatani, maka harga minyak nilam haruslah sebesar Rp 378.000 per kg (tabel 2).



Hasil analisis sensitifitas menunjukkan perubahan pada harga input maupun tingkat rendemen akan mempengaruhi pendapatan penyuling. Dengan tingkat harga terna Rp 4.400 per kg dan harga minyak nilam Rp 378.000 per kg, peningkatan harga bahan bakar minyak tanah sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 19,1%, peningkatan upah tenaga kerja penyulingan sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 6,8%, dan setiap penurunan rendemen sebesar 0,01% akan menurunkan pendapatan sebesar 8,1%.

Kesimpulan

Penentuan harga terna nilam dan minyak nilam ditingkat penyuling yang memberikan keuntungan yang wajar sangatlah penting untuk terlaksananya program cultiva nilam. Pada penentuan harga terna nilam perlu diperhatikan dua faktor utama yang sangat mempengaruhi yaitu penetapan asumsi tingkat produktivitas terna nilam yang wajar yang dapat dihasilkan petani sesuai dengan kondisi lapang walaupun sudah menerapkan GAP, hal ini karena penurunan realisasi produkstivitas terna sebesar 10% dari asumsi tingkat produktivitas akan menurunkan keuntungan yang diterima petani sebesar 17,6%. Kedua, penetapan tingkat keuntungan yang seharusnya diterima petani per tahun dari setiap hektar pertanaman nilamnya.

Sedangkan pada penentuan harga minyak nilam, dua faktor yang perlu diperhatikan adalah, pertama, penetapan tingkat keuntungan per tahun yang seharusnya diterima penyuling. Kedua, penetapan asumsi tingkat rendemen minyak yang dihasilkan. Tingkat rendemen ini dapat berfluktuatif walaupun penyuling telah menerapkan GMP karena sangat dipengaruhi oleh kualitas terna dan tingkat teknologi penyulingannya. Hal ini karena penurunan tingkat rendemen yang didapat sebesar 0,01% dari asumsi tingkat rendemen yang ditetapkan akan menurunkan keuntungan yang didapat penyuling sebesar 8,1%.

Selain faktor-faktor tersebut diatas, harga kesepakatan yang telah ditetapkan harus selalu ditinjau ulang secara berkala untuk disesuaikan dengan perubahan harga masukan dalam proses produksi. Pada penentuan harga terna nilam, harga masukan yang perlu ditinjau, diurut dari yang sangat mempengaruhi, adalah harga pupuk kandang, upah tenaga kerja, harga pupuk kimia (urea, TSP dan KCl). Sedangkan pada penentuan harga minyak nilam ditingkat penyuling, harga masukan yang perlu ditinjau, diurut dari yang sangat mempengaruhi, adalah harga bahan bakar minyak tanah dan tingkat upah penyuliungan.

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Prosedur Operasional Standar Budidaya Nilam. Kerjasama Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Balittro. Jakarta.

Gunawan, W. 2008. Kultiva sebagai implementasi klaster minyak atsiri. Makalah pada Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Daerah Potensial Minyak Atsiri di Jawa Timur, diselenggarakan Dirjen IKM dan DaI di Malang 17-18 Nopember 2008.

Indrawanto, C dan L. Mauludi. 2004. Strategi Pengembangan Industri Nilam Indonesia. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, Balittro – Bogor.

Rusli, M.S. 2008. Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Minyak Atsiri. Makalah pada Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Daerah Potensial Minyak Atsiri di Jawa Timur, diselenggarakan Dirjen IKM dan DaI di Malang 17-18 Nopember 2008.

Sumber : http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/atsiri-nilam/chandra-indrawanto-dan-jt-yuhono-2/

Harga Minyak Atsiri Nilam Domestik di tingkat penyuling tahun 2008 2009

Minggu, 09 Oktober 2011

Angin sorga bisnis minyak nilam Indonesia






Angin Surga Bisnis Minyak Nilam Atsiri Indonesia Perlu Dukungan Penuh Pemerintah

Merebaknya informasi berfluktuasinya harga minyak atsiri khususnya nilam di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Alasan klasik masalah mutu dan alat penyulingan dikambing hitamkan. Sejak berdirinya Badan Koordinasi dan Komunikasi Produsen Minyak Atsiri (BKKPMA) Indonesia 8 tahun yang lalu sebagai hasil kesepakatan para petani dan penyuling minyak atsiri dari berbagai daerah sentra produksi di Indonesia yang diprakarsai oleh Dirjen IDKM Deperindag RI telah berupaya semaksimal mungkin untuk mengantisipasi hal tersebut, namun dari pihak sindikasi broker dengan berbagai alasan tetap mengendalikan harga sesuai maunya.Maklumlah komoditas ini hanya untuk pihak pihak tertentu tidak dapat diperjual belikan bebas seperti komoditas consumer lainnya.

Posisi petani dan penyuling menengah ke bawah tidak dapat berbuat banyak karena masih pada posisi tawar rendah dan keterbatasan alat pengukur standart mutu. Sampai pada saat yang paling kritis di tahun 2007 dimana para petani dan penyuling mulai frustasi dan akan meninggalkan bisnis minyak atsiri, persediaan ditingkat sentra produksi langka dan terjadilah lonjakan harga yang luar biasa dari Rp 200.000,- menjadi Rp 1.500.000,- per ltr.

Mencermati hal tersebut serta untuk mempertahankan Indonesia sebagai pemasok terbesar dunia minyak atsiri khususnya nilam, Pemerintah dhi Deperindag RI bergerak cepat dengan membagikan alat destilasi standar mutu internasional kesentra sentra produksi yang potensial di Indonesia, menyelenggarakan seminar/rapat koordinasi bersama Departeme terkait dan para pemangku kepentingan dunia minyak atsiri lainnya.

Salah satu langkah kongkrit yang diambil oleh BKKPMA-Indonesia sebagai organisasi kemasyarakan riel petani dan penyuling minyak atsiri disamping mengadakan koordinasi dengan pihak Departemen terkait, Litbang dan Perguruan Tinggi salah satunya dengan Dr.Hans Siwon peneliti senior minyak atsiri Belanda beserta tim ITS yang telah mengadakan penelitian berbagai jenis minyak atsiri di Situbondo, ternyata hasilnya luar biasa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan minyak atsiri khususnya di Jawa Timur dan telah diinformasikan kepada anggotanya yang berada dibeberapa sentra minyak atsiri dalam wilayah Indonesia diharapkan menjadi harapan baru bagi kebangkitan petani dan penyuling minyak atsiri Indonesia yang selalu berada pada posisi yang lemah
Peneliti senior mancanegara tersebut sangat berterima kasih banyak atas peluang kerja sama waktu kunujungan tim ITS di Situbondo.

Langkah tersebut sangat berarti untuk penelitian minyak atsiri Indonesia khusunya di Jawa Timur. Nilam Pasagro, bunga ylang-ylang, daun cemara wangi dan daun clausena anesata sudah di distillasi selama 4 jam di laboratorium . Hasilnya menakjubkan, kandungan minyak bunga ylang ylang 1,1% , daun clausena anesata 1,6% dan daun cemara wangi 0,4%. Karena minyak di lengkapi dengan herbarium dari pohon asli, hasilnya telah dibawa ke Eropa untuk analisa Sekaligus mutu harumnya bisa di nilai oleh tenaga ahli profesional yang menilai minyak atsiri berdasar harum. Daun nilam Pasagro-Balittro baru yang di bawa oleh Prof.Dr. Mahfud Dea dari Fakultas Tehnik Kimia ITS, oleh tim peneliti di pisahkan kayu dan bahan bukan nilam. Daun di destilasi. Hasilnya luar biasa 8,2% minyak, informasi tentang kadar minyak terebut belum pernah tejadi dibelahan dunia ini. Karena sekarang ada herbarium dari pohon nilam Pasagro-Balittro baru, minyak ini juga bisa di analisa untuk publikasi ilmiah. Sekaligus para ahli parfum bisa menilai harumnya dan membanding produk dengan nilam yang sudah ada seperti nilam-Sidikalang dan nilam-Aceh.

Langkah positif tersebut perlu diikuti dukungan kuat birokrasi, informasi tentang masalah-masalah produksi, mutu dan pemasaran produk-produk agrobisnis di Indonesia secara transparan dan berkesinambungan. Jika tidak ada upaya kerja sama dalam kemitraan untuk kemajuan serta peningkatan kesejahteraan para pemangku kepentingan melalui sinkronisasi para pihak tidak mungkin hasil optimum bisa dicapai.

BKKPMA-Indonesia bersama dewan pakarnya berkarya terus dan sudah berhasil menciptakan alat destilasi baru yang dapat memproduksi minyak nilam dengan kemurnian / kadar p.a 50-57. MASIHKAH KITA HARUS BERKIBLAT KE LUAR NEGERI? BANGSA INDONESIA BANGSA YANG BESAR HARUS DIBANGKITKAN KEMBALI JIWA IDEALISNYA

Situbondo, 17 Agustus 2008
Ketua Presidium Pimpinan Pusat BKKPMA-Indonesia
Dr.H.Sutjipto Wirosari

Sumber : http://organisasi.org/angin-surga-bisnis-minyak-nilam-atsiri-indonesia-perlu-dukungan-penuh-pemerintah

Sabtu, 08 Oktober 2011

Standard Alat Suling Destilator Minyak Nilam

Gambar salah satu model alat suling Minyak Nilam



Teknologi Pengolahan Minyak Nilam

Teknologi Pengolahan Minyak Nilam

tatang hidayatOleh:
Ir. Tatang Hidayat, MSi

Minyak nilam adalah minyak atsiri yang diperoleh dari daun nilam (Pogostemon cablin Benth) dengan cara penyulingan. Sentra produksi nilam di Indonesia yaitu propinsi Nanggro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Saat ini, pertanaman nilam telah menyebar ke propinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat. Sebagai komoditas ekspor, minyak nilam mempunyai prospek yang baik karena dibutuhkan secara kontinyu dalam industri parfum, kosmetik, sabun, dan lain-lain. Penggunaan minyak nilam dalam industri tersebut karena daya fiksasinya yang tinggi terhadap bahan pewangi lain, sehingga dapat mengikat bau wangi dan mencegah penguapan zat pewangi sehingga bau wangi tidak cepat hilang atau lebih tahan lama. Minyak nilam terdiri dari komponen bertitik didih tinggi seperti patchouli alkohol, patchoulen, kariofilen dan non patchoulenol yang berfungsi sebagai zat pengikat dan belum dapat digantikan oleh zat sintetik.

Pangsa pasar minyak nilam Indonesia diperkirakan mencapai 80% dari ekspor minyak nilam dunia. Pesaing utamanya yaitu minyak nilam asal RRC dan Brazil. Walaupun secara kuantitas minyak nilam Indonesia lebih unggul, namun dari segi mutu masih kalah bersaing dan harga yang diberikan untuk minyak nilam Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan RRC. Singapura dikenal sebagai penyalur minyak nilam dunia, tetapi sebagian besar minyaknya berasal dari Indonesia yang kemudian diolahnya kembali untuk memenuhi standar mutu yang dikehendaki konsumen karena minyak nilam Indonesia cenderung rendah.

Kurang baiknya mutu minyak nilam Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 1) bahan olah yang tidak memenuhi syarat, 2) peralatan penyulingan yang kebanyakan tidak sesuai atau kurang memenuhi syarat, 3) lokasi penyulingan yang tidak cocok sehingga kekurangan air atau air yang ada tidak bersih, 4) pengemasan dan kondisi tempat penyimpanan yang juga tidak memenuhi syarat.

Mutu minyak nilam umumnya ditentukan oleh beberapa faktor, baik menyangkut pra panen maupun pasca panen. Faktor pra panen yang menyangkut bahan tanaman, teknik budidaya, cara dan waktu panen maupun faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan mutu bahan olah, yang akhirnya akan berpengaruh terhadap mutu hasil olahannya. Sedangkan faktor pasca panen yang mencakup penanganan bahan olah, cara pengolahan termasuk alatnya, pengemasan, dan penyimpanan sangat berpengaruh pula terhadap mutu produk akhir. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu minyak nilam Indonesia maka faktor-faktor tersebut harus diperhatikan dengan baik.

Sumber : http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/index.php/id/berita/88

Alat Suling Destilator Minyak Nilam








Minyak Atsiri






Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan senyawa organik yang berasal dari tumbuhan dan bersifat mudah menguap, mempunyai rasa getir, dan bau mirip tanaman asalnya. Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang, atau sering pula disebut minyak essential. Bahan baku minyak ini diperoleh dari berbagai bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, kulit batang, akar, dan rimpang.

Minyak atsiri banyak digunakan sebagai bahan baku untuk industri parfum, bahan pewangi (fragrances), aroma (flavor), farmasi, kosmetika dan aromaterapi.

Berbagai macam tanaman yang dibudidayakan atau tumbuh dengan sendirinya di berbagai daerah di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk diolah menjadi minyak atsiri, baik yang unggulan maupun potensial untuk dikembangkan. Tanaman penghasil minyak atsiri yang termasuk unggulan adalah tanaman yang memiliki volume produksi cukup besar di dalam negeri dan hasil minyaknya telah sangat dikenal di pasar dunia. Tanaman dalam kelompok ini misalnya nilam, akar wangi, pala, cengkeh, dan sereh wangi.

Proses produksi minyak atsiri dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu;

(1) pengempaan (pressing),

(2) ekstraksi menggunakan pelarut (solvent extraction), dan

(3) penyulingan (distillation).

Penyulingan merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Penyulingan dilakukan dengan mendidihkan bahan baku di dalam ketel suling sehingga terdapat uap yang diperlukan untuk memisahkan minyak atsiri dari komponen bukan minyak atsiri atau dengan cara mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air (boiler) ke dalam ketel penyulingan yang berisi bahan baku minyak atsiri.

Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Negara tujuan ekspor seperti USA, Eropa, Australia, Afrika, Cina, India, dan ASEAN. Beberapa minyak atsiri unggulan seperti minyak nilam telah memberikan pangsa pasar lebih dari 90% kebutuhan dunia atau sekitar 35-40% dari total nilai ekspor minyak atsiri. Sementara untuk ekspor minyak daun cengkeh dan turunannya telah menyuplai lebih dari 70% dari kebutuhan dunia, dan lebih dari 90% kebutuhan dunia untuk minyak pala disuplai oleh Indonesia. Minyak atsiri lainnya juga berperan penting di pasar dunia seperti minyak akar wangi, minyak sereh wangi, minyak kenanga, minyak jahe, minyak jeruk purut, minyak adas, minyak kemukus, minyak kayu putih, minyak massoi, minyak cendana, minyak gaharu, dan lain-lain.


Sumber : http://www.atsiri-indonesia.com/index.php?page=blog&det=minyak-atsiri

Minyak Atsiri Indonesia






Minyak atsiri telah diketahui mempunyai banyak manfaat, dapat digunakan dalam industri pangan, parfum, toiletries, maupun farmasi. Saat ini, Indonesia menjadi salah satu produsen minyak atsiri terbesar di dunia untuk beberapa komoditi. Diperkirakan terdapat 40 jenis minyak atsiri yang dapat diproduksi dari berbagai jenis tanaman yang ada di Indonesia, 12 jenis diantaranya diklasifikasikan sebagai komoditi ekspor.

Pada booklet ini, diperkenalkan beberapa jenis minyak atsiri yang diproduksi di Indonesia, 5 diantaranya merupakan komoditi unggulan Indonesia seperti minyak nilam (patchouli oil), minyak pala (nutmeg oil), minyak akar wangi (vetiver oil), minyak cengkeh (clove oil), dan sereh wangi (citronella oil). Booklet ini juga dilengkapi dengan kondisi perdagangan, historis harga minyak atsiri Indonesia di pasar dunia, data harga minyak atsiri di beberapa daerah di Indonesia pada tahun 2008-2009 , dan daftar eksportir minyak atsiri yang ada di Indonesia.

Penyusun : Dewan Atsiri Indonesia

Booklet ini hanya dapat anda peroleh di sekretariat Dewan Atsiri Indonesia.

Hubungi : Yuslina (0818-0858-0628, 0813-8236-2627), Nuri (0858-1354-0599)


Sumber : http://www.atsiri-indonesia.com/index.php?page=blog&det=minyak-atsiri-indonesia

Buku : Sukses Memproduksi Minyak Atsiri

Sukses Memproduksi Minyak Atsiri

Minyak atsiri berasal dari tanaman yang memiliki kandungan khusus dengan aroma yang khas. Berbagai macam tanaman yang dibudidayakan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk diolah menjadi minyak atsiri. Buku dengan judul “Sukses Memproduksi Minyak Atsiri” menjelaskan cara memproduksi minyak atsiri hingga cara memurnikan minyak atsiri sesuai dengan standar mutu, sehingga layak untuk diekspor. Berbagai tanaman unggulan dan tanaman potensial penghasil minyak atsiri juga dipaparkan dalam buku tersebut. Bisnis “wangi” ini dapat memberikan keuntungan hingga jutaan rupiah per bulan. Karena itu, dijelaskan juga berbagai peluang usaha dan analisis usahanya.

Pengarang : Dr. Meika Syahbana Rusli

Penerbit : Agro Media Pustaka

Buku tersebut dapat diperoleh di toko-toko buku terdekat di kota Anda, atau jika merasa kesulitan, DAI bersedia membantu Anda.
CP. Nuri (0858 13540599 / 0812 82682446)
Yuslina (0813 82362627 / 0818 08580628)

Sumber : http://www.atsiri-indonesia.com/index.php?page=blog&det=sukses-memproduksi-minyak-atsiri

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL (SPO) BUDIDAYA TANAMAN NILAM


Penerapan SPO Budidaya Tanaman Nilam merupakan upaya sungguh-sungguh dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu minyak nilam yang dihasilkan. Buku ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi pelaku usaha perkebunan nilam. Penerapan SPO budidaya tanaman nilam merupakan pendekatan secara holistik dengan penekanan pada kegiatan yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas serta lingkungan.

Ruang lingkup Standar Prosedur Operasional Budidaya Tanaman Nilam Yang baik meliputi :

  1. Manajemen Usaha produksi
  2. Pemilihan/Penetapan Lahan
  3. Pemilihan Benih
  4. Penyemaian Benih
  5. Penyiapan Lahan
  6. Penanaman
  7. Pemeliharaan
  8. Pemupukan
  9. Pengendalian OPT
  10. Pemanenan
  11. Pasca Panen

Semua penjelasan mengenai ruang lingkup tersebut dapat anda lihat pada buku pedoman SOP yang hanya bisa anda dapatkan di sekretariat Dewan Atsiri Indonesia.

Disusun oleh : Direktorat Budidaya Tanaman Semusim, Ditjenbun, Kementerian Pertanian dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Hubungi : Yuslina (0818-0858-0628, 0813-8236-2627), Nuri (0858-1354-0599)

Sumber : http://www.atsiri-indonesia.com/index.php?page=blog&det=standar-prosedur-operasional-%28spo%29-budidaya-tanaman-nilam

Karakteristik Empat Aksesi Nilam

Oleh:

Yang Nuryani

Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.2 Th.2006

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor

ABSTRACT

Characterization of four accessions of patchouli was conducted to obtain the information of characteristics to be utilized for future breeding program. The experiment was conducted in three locations namely Ciamis, Cimanggu, and Sukamulya. Four accessions of patchouli namely 0003, 0007, 0012, and 0013 were tested in a randomized block design with five replications, plant spacing of 100 x 50 cm, and 100 plants/plot. The plant were first harvested six month after planting and the 2nd harvested four months after the 1st harvested. The observation were made before the first harvested on morphological characters, production, oil content, and oil quality. The result showed that some of morphological characters such as plant height, accessions of primary and secondary branches, length of primary and secondary branches, length and widh of leaf as weel as numbers of leaves on primary branches on accession of 0012 were higher than that of another three accessions. The highest production of dry terna (13,278 t/ha) and patchouli alcohol content (33,3%) was observed on accession 0012, while the highest oil content (3,2%) on accession 0007. The main morphological characters that can be used to identify those accessions of patchouli was the colour of stem, accessions 0012 was green with slight purple, 0003 and 0007 more purple, and 0012 dark purple.

Key words: Pogostemon cablin Benth., characteristics.

ABSTRAK

Karakteriasi empat aksesi nilam bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakter nilam dan pemanfaatannya dalam pemuliaan tanaman di masa yang akan datang. Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu Ciamis, Cimanggu, dan Sukamulya. Aksesi 0003, 0007, 0012, dan 0013 dikarakterisasi dalam rancangan acak kelompok dengan lima ulangan, jarak tanam 100 x 50 cm, 100 tanaman per petak. Panen pertama dilakukan pada umur 6 bulan dan panen kedua 4 bulan setelah panen pertama. Pengamatan dilakukan sebelum panen pertama. Parameter yang diamati adalah karakter morfologi, hasil, kadar, dan mutu minyak, serta ketahanan terhadap penyakit. Hasil penelitian menunjukkan tinggi tanaman, jumlah cabang primer/ sekunder, panjang cabang primer/sekunder, panjang dan lebar daun, dan jumlah daun per cabang primer aksesi 0012 lebih tinggi daripada ketiga aksesi lainnya. Produktivitas terna kering (13,278 t/ha) dan kadar patchouli alkohol (33,3%) tertinggi diberikan oleh aksesi 0012, sedangkan kadar minyak tertinggi (3,2%) ditunjukkan oleh aksesi 0007. Karakter morfologi yang membedakan aksesi-aksesi tersebut terutama adalah warna batang tua. Aksesi 0012 memiliki batang tua berwarna hijau dengan sedikit ungu, sementara aksesi 0003 dan aksesi 0007 lebih ungu dan aksesi 0012 paling ungu.

Kata kunci: Pogostemon cablin Benth., karakteristik.


PENDAHULUAN

Nilam (Pogostemon cablin Benth.) termasuk famili Labiateae yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama patchouli. Daerah asal nilam tidak diketahui secara pasti, kemungkinan berasal dari Filipina atau Malaysia. Nilam masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu, mula-mula dibudidayakan di Aceh, kemudian berkembang di beberapa provinsi lainnya seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Minyak nilam digunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik, dan insektisida (Dummond 1960; Robin 1982; Mardiningsih et al. 1995). Dengan berkembangnya pengobatan tradisional, minyak nilam juga banyak digunakan sebagai bahan terapi aromaterapi.

Nilam termasuk penyumbang devisa terbesar di antara tanaman atsiri lainnya. Luas areal pertanaman nilam dewasa ini 21,602 ha, yang diusahakan oleh 36,461 kepala keluarga. Ekspor minyak nilam pada tahun 2002 tercatat sebesar 1,29 ton dengan nilai 22,5 juta dolar Amerika (Ditjen Bina Produksi Perkebunan 2004). Namun produktivitas minyak masih rendah, rata-rata 97,5 kg/ha. Faktorfaktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas antara lain adalah mutu genetik tanaman, kurang tepatnya budi daya, pengendalian penyakit, dan pengelolaan panen dan pascapanen.

Sejak masuknya nilam ke Indonesia seabad yang lalu, tanaman nilam sudah berkembang dan beradaptasi di berbagai daerah, tidak tertutup kemungkinan terjadi mutasi secara alami walaupun frekuensinya biasanya rendah (Simmonds 1982). Nilam Aceh tidak berbunga, sehingga untuk mendapatkan genotipe baru tidak dapat dilakukan melalui persilangan seksual. Keterbatasan sumber genetik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pemuliaan tanaman.

Untuk meningkatkan keragaman genetik, Balittro telah melakukan eksplorasi plasma nutfah ke berbagai daerah pertanaman nilam, terutama di sentra produksi dan melestarikannya di beberapa kebun percobaan. Dari hasil eksplorasi telah terkumpul 28 aksesi yang berbeda karakter morfologinya dan kadar minyaknya bervariasi antara 1,60- 3,59% (Nuryani et al. 1997). Dari hasil seleksi diperoleh empat aksesi yang kadar dan mutu minyaknya relatif tinggi, yaitu aksesi 0003, 0007, 0012, dan 0013 (Nuryani 1998).

Di samping kadar dan mutu minyak, produktivitas terna merupakan faktor penting yang menentukan produktivitas minyak setiap aksesi. Sel-sel minyak paling banyak terdapat pada daun nilam (Guenther 1952). Dengan meningkatnya produktivitas terna maka produktivitas minyak akan meningkat pula apabila kadar minyaknya tinggi.

Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan semua informasi dari keempat nomor nilam. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan dalam kegiatan pemuliaan selanjutnya untuk meningkatkan mutu genetik tanaman nilam.


BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu Sukamulya (350 m dpl, jenis tanah Altisol, tipe iklim A), Cimanggu (240 m dpl, jenis tanah Altisol, tipe iklim A), dan Ciamis (450 m dpl, jenis tanah Altisol, tipe iklim A). Aksesi yang diuji adalah 0003 (asal Cisaroni), 0007 (asal Lhokseumawe), 0012 (asal Tapak Tuan), dan 0013 (asal Sidikalang). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan lima ulangan. Benih nilam ditanam dengan jarak tanam 100 x 50 cm, jumlah tanaman 100 tanaman per petak, luas petak 25 m2. Tanaman diberi pupuk organik (pupuk kandang) sebanyak 2 kg/tanaman pada saat tanam (pupuk dasar). Pupuk anorganik diberikan tiga kali, yaitu pada umur 3 bulan, 6 bulan setelah panen I dan umur 11 bulan setelah panen II dengan takaran 280 kg urea + 70 kg TSP + 140 kg KCl/ha.

Pangamatan dilakukan pada umur 6 bulan sebelum panen I. Paramater yang diamati adalah karakter morfologi: tinggi tanaman, warna batang muda/tua, bentuk batang, percabangan, jumlah cabang primer/sekunder, panjang cabang primer/sekunder, daun (bentuk, pertulangan, warna, panjang, lebar, tebal, panjang tangkai, ujung, pangkal, tepi, permukaan, jumlah/cabang primer), produktivitas terna, kadar dan mutu minyak.

Analisis gabungan data produktivitas, kadar minyak dan patchouli alkohol terhadap masing-masing lingkungan (tiga lokasi, dua kali panen) menggunakan metode Singh dan Chaudhary (1979) dengan uji Ducan’s Multiple Range Test. Analisis kadar dan mutu (fisika kimia) minyak dari tiga lokasi dalam dua kali panen dilakukan di Laboratorium Pascapanen Balittro.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Morfologi

Hasil karakterisasi terhadap empat aksesi nilam di tiga lokasi menunjukkan pertumbuhan aksesi 0012 lebih baik daripada aksesi lainnya. Hal ini ditinjau dari tinggi tanaman, jumlah cabang primer/ sekunder, panjang cabang primer/sekunder, panjang/ lebar daun dan jumlah daun per cabang primer (Tabel 1). Data pertumbuhan ini sejalan dengan data produktivitas terna kering (13,278 kg/ha) dan minyak (375,76 kg/ha). Jumlah daun yang banyak merupakan salah satu faktor penentu produksi minyak, karena sel-sel minyak telah banyak terdapat di daun dibandingkan dengan di bagian tanaman lainnya (Guenther 1952).

0g1

Di samping produktivitas dan karakter kuantitatif lainnya, karakter kualitatif yang dapat membedakan aksesi-aksesi nilam tersebut terutama adalah warna batang tua/pangkal batang. Warna hijau pada pangkal batang aksesi 0012 lebih dominan, diikuti oleh aksesi 0003, sedangkan pada aksesi 0007 dan 0013 warna ungu yang lebih dominan (Gambar 1).


Produksi Terna dan Minyak

Dari keempat aksesi yang diuji, produktivitas terna kering tertinggi terdapat pada aksesi 0012 (13,278 t/ha), berbeda nyata dengan ketiga aksesi lainnya dan yang terendah terdapat pada aksesi 0003 (9,489 t/ha). Kadar minyak tertinggi diberikan oleh aksesi 0007 (3,2%), tidak berbeda nyata dengan aksesi 0003 (3,07%). Walaupun kadar minyak aksesi 0012 (2,83%) lebih rendah dari aksesi 0003, namun karena produktivitas ternanya tinggi maka produktivitas minyaknya juga tinggi, yaitu 375,76 kg/ha (Tabel 1). Produktivitas minyak diperoleh dari hasil perkalian produktivitas terna kering dengan kadar minyak. Produktivitas terna (basah) akan lebih tinggi pada pertanaman nilam yang mendapat intensitas cahaya 50% (Rosman et al. 2004), namun kadar minyaknya lebih rendah.


Mutu Minyak

Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam, antara lain genetik, budi daya, lingkungan, panen, dan pascapanen. Nilam yang tumbuh di dataran tinggi. kadar minyaknya lebih rendah daripada yang tumbuh di dataran rendah, namun kadar patchouli alkoholnya lebih tinggi. Sebaliknya, nilam yang tumbuh di dataran rendah kadar minyaknya lebih tinggi, sedangkan kadar patchouli alkoholnya lebih rendah (Guenther 1952). Daerah yang sesuai untuk pertanaman nilam adalah dataran rendah-sedang (<700 m dpl) (Rosman et al. 1998). Selain tinggi tempat, intensitas cahaya matahari juga mempengaruhi kadar minyak. Nilam yang ternaungi (<50% cahaya) akan menghasilkan kadar minyak yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ditanam di tempat terbuka.

Mutu minyak ditentukan oleh sifat fisikakimia minyaknya. Faktor yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah kadar patchouli alkohol. Karakteristik harum (odour) minyak nilam sangat ditentukan oleh kandungan patchouli alkohol yang ada di dalamnya, yang meliputi 50-60% dari minyak nilam (Walker 1968). Kadar patchouli alkohol keempat aksesi nilam dari tiga lokasi dalam dua kali panen tidak berbeda nyata, rata-rata di atas 30%, yang merupakan batas minimum persyaratan ekspor

Re-exposure of 0t2

Re-exposure of 0t3

Re-exposure of 0t4

KESIMPULAN

  • Pertumbuhan aksesi 0012 lebih baik ditinjau dari karakter tinggi tanaman, jumlah cabang primer/ sekunder, panjang cabang primer/sekunder, panjang/ lebar daun, dan jumlah daun per cabang primer. Demikian pula produktivitas terna kering (13,278 t/ha), kadar patchouli alkohol (33,3%) dan produktivitas minyak (375,76 kg/ha). Aksesi 0007 berkadar minyak tertinggi (3,2%).
  • Karakter kuantitatif yang dapat dengan mudah membedakan keempat aksesi adalah warna batang tua.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia, 2003. 23 hlm.

Dummond, H.M. 1960. Patchouli oil. Journal of Perfumery and Essential Oil Record 59(9):484-492.

Guenther, E. 1952. The essential oils. D. van Nostrand Co. Inc. New York nd Ed. III:552-574.

Mardiningsih, T.L., S.L. Triantoro, Tobing, and S. Rusli. 1995. Patchouli oil product as insect repellent. Indust. Crops. Res. Journal 1(3):152-158.

Nuryani, Y., C. Syukur, dan D. Rukmana. 1997. Evaluasi dan dokumentasi klon-klon harapan nilam. Laporan Tahunan. (Tidak dipublikasi).

Nuryani, Y. 1998. Karakteristik. Monograf Nilam 5:16-23.

Robin, S.R.J. 1982. Selected market for the essential oils patchouli and vetiver. Tropical Product Institute Ministry of Overseas Development. Great Britain G. 167:7-20.

Rosman, R., Emyzar, dan P. Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklim untuk pewilayahan pengembangan. Monograf Nilam 5:47-54.

Rosman, R., Setiyono, dan H. Suhaemi. 2004. Pengaruh naungan dan pupuk fosfor terhadap pertumbuhan dan produksi nilam (Pogostemon cablin Benth.). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat XV(1):43-49.

Simonds, N.W. 1982. Principles of crop improvement. Logman. London-New York. 85 p.

Singh, R.K. and Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi. 299 p.

Walker, G.T. 1968. The structure and synthesis of patchouli alcohol manufacturing chemist and acrosel. News. p. 87-88.

Sumber : http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/budidaya-nilam/yang-nuryani-2/

KAJIAN TEKNIS BUDIDAYA DAN MANAJEMEN PRODUKSI PENGOLAHAN MINYAK NILAM DI BEBERAPA SENTRA NILAM JAWA BARAT

Roni Kastaman dan Ade M.Kramadibrata

(The Study of Pogostemon cablin Cultivation and The Patchouli Oil Production Management in The Centre of Production Regions of West Java Province)

Oleh : Roni Kastaman dan Ade M.Kramadibrata ; Staf akademik Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung. Kampus UNPAD Jatinangor Km 21 Sumedang. E-mail : tikakiki@yahoo.com

(Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional Tahunan PERTETA, dengan tema Pengembangan Inkubator Agrobisnis Berbasis Teknologi Tepat Guna, 10 Desember 2003. Di Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI – Subang)

Abstract

Untill now there is no appropriate information to describe the sufficient of agroindustrial management of patchouli oil in West Java, especially on cultivation aspect and production management in the production centre. In order to describe the existing condition about this situation, the research has been conducted in Tasikmalaya, Garut, Majalengka and Bandung Region on June untill October 2003. The research uses descriptive method and the result shown that for all of the centre need further improvement especially on agronomical aspect, topography, soil condition, and plant suitability to obtain the best quality og patchouli oil. It needs better cultivar of plant to meet the best quality of the oil. There is a few weaknesses on the destilator design so that it should be modified in order to fulfill the uniformity of heat from boiler to the tank of destilator. The waste handling management in every centre of the region is still poor and tend to be improved in the future. To comfirm with the mission of small and medium entreprise needs, the group of the farmer should be well trained primary on agronomical aspect, production technology of the patchouli oil, quality management and good waste management. Keyword : pogostemon cablin, patchouli oil, agronomical aspect, production technology.


I. LATAR BELAKANG

Hampir sekitar 90 % pasokan minyak nilam dunia (+ 1.500 ton) adalah berasal dari Indonesia terutama dari daerah Propinsi Aceh. Namun dengan memburuknya situasi keamanan di Propinsi Aceh pada akhir-akhir ini, pasokan minyak nilam Indonesia juga ikut berkurang. Sehingga situasi ini membuka peluang bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan usaha komoditas ini. Minyak nilam mempunyai prospek usaha yang cerah mengingat komoditas ini di Amerika dan Eropah bisa mencapai harga USD 50/Kg yang terutama dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan minyak wangi (sebagai pengikat bau atau fixative parfum) dan kosmetik. Namun minyak nilam juga bisa dimanfaatkan untuk bahan anti-septik, anti-jamur, anti-jerawat, obat eksim dan kulit pecah-pecah, serta berbagai jenis kegunaan lainnya sesuai kebiasaan masyarakat di negara pemakai.

Di Jawa Barat, tanaman nilam telah dikembangkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Bandung, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, baik oleh swasta maupun melalui dukungan Dinas terkait (misalnya : Dinas Koperasi & UKM dan Dinas Perindag) dengan pertumbuhan yang cukup memuaskan. Oleh karenanya budidaya tanaman nilam ini perlu diupayakan dengan dukungan teknologi pengolahan (destilasi) yang lebih efisien dan berkualitas agar mempunyai daya saing dan lebih efisien dan berkualitas agar mempunyai daya saing dan lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem konvensional yang ada.

Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan hingga saat ini belum ada kajian yang terkait dengan aspek teknis budidaya dan manajemen produksi terhadap sentra nilam yang ada di Jawa Barat. Sehingga belum dapat diketahui apakah dari sisi budidaya maupun kinerja manajemen produksi agroindustri nilam tersebut sudah memenuhi syarat ataukah belum. Dengan demikian penelitian yang bertujuan mendapatkan gambaran kondisi tersebut perlu kiranya dilakukan.


II. POKOK PERMASALAHAN

Ada beberapa hal yang ingin diketahui dalam observasi lapangan berkaitan dengan budidaya dan teknologi penyulingan minyak nilam di Jawa Barat, antara lain yaitu :

  1. Mengevaluasi hasil budidaya tanaman nilam dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan oleh unit destilasi yang dibuat agar dapat diketahui apakah kondisi saat ini telah sesuai dengan standar mutu minyak nilam yang telah ditetapkan.
  2. Mengevaluasi kinerja perangkat unit destilasi (penyulingan) minyak nilam yang telah dibuat, sehingga secara teknis penyulingan yang dilakukan mampu memberikan mutu minyak yang terbaik.
  3. Memberikan rekomendasi guna perbaikan teknis budidaya tanaman dan sistem penyulingan minyak nilam yang baik dan optimal


III. METODOLOGI

Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Oktober 2003 di sentra agroindustri nilam di Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Kegiatan yang telah dilakukan di beberapa daerah antara lain:

  1. Survey lapangan, yaitu mencakup pengamatan visual (observasi) ke daerah penanaman (budidaya) tanaman nilam di Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Majalengka dan Kabupaten Bandung, dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum lokasi dan evaluasi kesesuaian lahan budidaya tanaman nilam.
  2. Pengamatan visual pada areal budidaya dan unit instalasi penyulingan minyak nilam di kecamatan Pager Ageung Kabupaten Tasikmalaya, kemudian di kecamatan Cilawu (perbatasan Kabupaten Garut – Tasikmalaya), kecamatan Banjaran (kabupaten Bandung) dan kecamatan Argapura (Kabupaten Majalengka), dengan maksud untuk mendapatkan gambaran teknis dan kinerja unit penyulingan minyak nilam yang akan digunakan oleh masyarakat petani di lokasi pengamatan.
  3. Pengambilan sample (contoh) daun nilam dan minyak nilam yang didestilasi dengan peralatan yang ada untuk kemudian dianalisis di laboratorium kimia, dalam hal ini Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran.
  4. Evaluasi teknis budidaya dan mutu minyak nilam yang dihasilkan serta analisis prospektif pemanfaatan produk samping dari limbah daun nilam hasil destilasi.


IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya

a. Aspek Budidaya

Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh gambaran sebagai berikut :

  1. Lokasi penanaman tersebar di banyak lokasi dengan keragaman karakteristik lahan, tanah dan tanaman yang signifikan secara visual. Hal ini terlihat dari tidak seragamnya produktivitas tanaman yang dihasilkan. Beberapa gambaran visual lokasi pengamatan teknis budidaya tanaman nilam tersebut adalah seperti yang disajikan pada gambar berikut :
    0g1

  2. Cara pemanenan belum mengikuti kaidah atau prasyarat bagi tercapainya mutu minyak nilam yang baik. Hal ini terlihat dari gambar di atas, dimana cara pemanenan dan pengeringan tidak terkontrol dengan baik.
  3. Kesesuaian lahan nampaknya belum diuji secara laboratorium dan hal ini terlihat dari belum seragamnya hasil mutu minyak setelah dianalisis di laboratorium. Oleh karena itu pengujian tanah dan penentuan kesesuaian lahan baik dari sisi topografi dan zona klimatisasinya perlu dilakukan untuk masa yang akan datang.

b. Pengamatan Visual dan Kinerja Unit Destilasi

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, baik di bengkel yang mengerjakan rancang bangun unit destilasi minyak nilam, maupun di lapangan tempat uji coba mesin dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Sistem pemanasan destilasi tidak seragam (tidak merata) sehingga hal ini berdampak pada mutu minyak yang dihasilkan tidak seragam (Gambar 7.) disamping itu dengan sistem destilasi seperti yang dirancang sekarang ini akan mengkonsumsi energi yang berlebih dengan sistem perpindahan panas yang tidak merata karena panas didistribusikan secara serial (Gambar 8.). Untuk perbaikan di masa yang akan datang perlu dimodifikasi sistem penyebaran panas secara konsentrik radial, sehingga pemanasan akan lebih merata.
    0g7-8

  2. Cara penampungan minyak seharusnya diperbaiki dengan tidak menggunakan bahan penampung dan penyimpanan dari bahan plastik. Bahan yang baik setidaknya adalah bahan kaca berwarna gelap agar tidak mengubah komposisi kimia minyak nilam yang dihasilkan.
  3. Cara pembuangan uap harus diupayakan agar beberapa bagian uap yang masih mengandung minyak tidak terbuang percuma ke luar sistem destilasi, dengan demikian harus dimodifikasi sistem pengeluaran uap yang berbentuk sistem “looping” (arus balik).
  4. Bahan pipa-pipa penyalur dan konstruksi lainnya harus seragam dan terbuat dari bahan “stainless steel” agar tidak berpengaruh terhadap kualitas minyak.
  5. Penyimpanan daun kering dan cara pengeringan daun dari sejak dipotong dari kebun harus diupayakan seoptimal mungkin untuk menghindari terjadi fermentasi dan susut rendemen minyak dalam daun, mengingat sistem destilasi yang digunakan pada disain yang ada saat ini adalah sistem penyulingan cara kering (menggunakan daun kering).
  6. Sistem pendinginan untuk kondensasi uap – minyak perlu disempurnakan sehingga aliran air yang masuk ke pendingin dapat berfungsi secara maksimal dan merata dengan demikian hasil dan mutu minyak yang diperoleh dapat lebih baik.

c. Hasil Analisis Laboratorium untuk Hasil Minyak Nilam

Dari hasil pengujian sample daun dan minyak nilam di laboratorium kimia Universitas Padjadjaran, dapat disampaikan beberapa kesimpulan teknis, baik yang menyangkut aspek tanaman yang telah dibudidayakan, maupun minyak hasil destilasi dengan menggunakan mesin yang telah dipasang di daerah sentra produksi Pager Ageung, Kabupaten Tasikmalaya (hasil uji pada lampiran).

Tanaman Nilam yang digunakan sebagai sumber minyak nilam dalam hal ini tidak dapat diketahui dengan pasti varietasnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

  1. Pada saat pengambilan sample diketahui bahwa terdapat 5 jenis tanaman dengan varietas yang berbeda (tanpa nama species yang pasti) yang ditanam pada satu lokasi penanaman.
  2. Taman tersebut memiliki nama daerah yang sama, yaitu : Nilam Aceh, tapi asal yang berbeda, yaitu ; Cisaroni, Bengkulu 1, Sidikalang, Bengkulu 2 dan Lokal.
  3. Akibat dari faktor-faktor diatas, daun yang sekarang dihasilkan tidak tertutup kemungkinan telah mengalami perubahan dalam arti terjadi persilangan yang menghasilkan varietas baru yang tidak diketahui dengan pasti kualitasnya.
  4. Dari hal-hal tersebut diatas dapat dilihat satu bukti yang nyata yaitu rendahnya kadar Patchouli alcohol (20,28 %) yang mana hal ini menunjukkan bahwa proses biokimia pembentukan senyawa tersebut tidak berlangsung dengan baik. Hal ini juga mengindikasikan bahwa telah terjadi ketidakcocokan sistem budidaya antara faktor genetik (spesies tanaman) dan faktor pendukung lingkungan ( unsur hara, iklim, dll).

Disamping hal tersebut di atas juga belum dapat diketahui bagaimana sebenarnya cara budidaya tanaman nilam tersebut dilakukan di lapangan, apakah mengikuti kaidah budidaya, pola tanam, syarat tumbuh dan kesesuaian lahannya (baik dari sisi iklim, tanah, topografi, dan faktor lainnya). Untuk itu perlu kiranya dilakukan kegiatan pengamatan lebih lanjut dan penyuluhan intensif kepada petani agar aspek budidaya tanaman dan pemilihan varietas nilam dapat dilakukan dengan baik, agar dihasilkan minyak dengan kadar yang baik pula.

Minyak Nilam yang dihasilkan, baik yang diperoleh dari uji daun maupun dari uji sample minyak yang diperoleh dari destilator yang ada di pager Ageung, hampir seluruhnya tidak memenuhi dengan lengkap standar spesifikasi perdagangan (SNI: 06-2385-1991).

Hal ini diperkirakan sebagai akibat dari :

  1. Daun tanaman tidak memenuhi standar kualitas, yang kemungkinan diakibatkan oleh :
    • Varietas tanaman tidak unggul atau telah terjadi penyerbukan silang diantara varietas tanaman yang belum diketahui spesifikasi asalnya dengan jelas.
    • Daya dukung ekologi/lahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman
    • Proses pemeliharaan budidaya
    • Kesalahanan proses produksi pasca panen, yang salah satunya faktornya adalah dekomposisis kandungan minyak atsiri pada proses pengeringan.
  2. Mekanisme proses destilasi yang terjadi dalam mesin / alat destilasi belum bekerja secara sempurna, akibat laju pemanasan tidak seragam dan proses penguapan yang kurang sempurna. Proses Penyulingan yang kurang sempurna ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
    • Kualitas alat (bahan logam) dari sistem penyulingan yang digunakan kurang baik, sehingga masih terdapat kandungan logam-logam yang dapat terlarut dan bereaksi dengan minyak nilam selama proses penyulingan.
    • Kebersihan seluruh sistem peralatan yang digunakan, sehingga terdapat kemungkinan masuknya kotoran yang bukan dari minyak atsiri ke dalam minyak hasil penyulingan. Bukti yang paling jelas adalah pada minyak atsiri yang dihasilkan terdapat sisa-sisa proses karbonisasi (berupa bau minyak terbakar).
    • Tempat penyimpanan / tempat penampungan minyak tidak sesuai dengan standar (sebaiknya bahan kaca gelap / tidak tembus cahaya).

d. Solusi Dan Saran Perbaikan

Berdasarkan hasil kajian data data diatas dapat disimpulkan :

  1. Perlu dilakukan analisis total terhadap parameter sistem agribisnis yang ada, yang terdiri dari :
    • Analisis daya dukung lingkungan (seperti kesesuaian unsur hara, pH, iklim, topografi, dll)
    • Analisis tanaman (kepastian varietasnya)
    • Analisis sistem penyulingan ( kadar logam terlarut, tempat penampungan minyak, termodinamika penyulingan, sistem perpindahan panas, dll)
  2. Dari ketiga faktor diatas, salah satu cara yang paling cepat untuk dilakukan adalah penggunaan bibit nilam dengan varietas yang jelas dan kualitas yang baik serta diadaptasikan terlebih dahulu. Diharapkan dengan kualitas bibit yang baik akan mampu memberikan minyak nilam dengan kualitas yang baik.
  3. Untuk mendapatkan mutu minyak hasil destilasi perlu dilakukan penyetelan ulang mesin dan bila memungkinkan dilakukan modifikasi sistem penyulingan sehingga diperoleh cara pemanasan daun (sistem penguapan), yang seragam dengan derajat pemanasan yang terkendali. Sistem pemanasan juga dapat dilakukan dengan cara penguapan pada daun basah dan pada daun kering. Namun untuk itu diperlukan studi lebih lanjut.

4.2. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Dusun Calincing Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka

a. Aspek Budidaya

Areal budidaya tanaman nilam untuk kabupaten Majalengka saat ini terpusat di dusun Calingcing kecamatan Argapura. Luas areal budidaya yang ada saat ini sekitar 70 hektar tersebar di beberapa dusun dengan pola penanaman tumpang sari dengan tanaman tahunan di kaki gunung yang ada di sekitarnya. Dari hasil observasi lapangan dapat diketahui bahwa varietas tanaman yang dibudidayakan oleh petani sudah seragam (varietas Sidikalang) dimana proses awal budidaya dilakukan dengan menguji coba kesesuaian varietas tanaman tersebut bekerjasama dengan Balitro.

0g9

b. Pengamatan Visual dan Kinerja Unit Destilasi

Pada awalnya unit destilasi yang ada di lokasi pabrik menggunakan cara destilasi daun basah, akan tetapi pada uji coba awal ada kelemahan pada sistem pemanasan sehingga pada akhirnya unit destilasi dimodifikasi kembali untuk penanganan bahan baku daun kering. Elemen pemanas yang digunakan saat ini adalah batu bara atau minyak tanah (dengan menggunakan kompor pemanas khusus sebagaimana terlihat pada gambar).

0g10

Hasil uji coba pada unit destilasi yang ada menunjukkan tingkat persentase pachouli alkohol (PA) yang dihasilkan telah memenuhi syarat minimal standar produksi nilam dimana PA yang diperoleh sekitar 34% (standar yang syaratkan harus lebih besar dari 30%). Rendemen minyak hasil destilasi dengan unit destilasi yang ada saat ini baru mencapai 2,6% dari berat kering daun yang diproses. Kinerja yang ada saat ini masih dapat ditingkatkan antara lain dengan memperbaiki sistem pemanasan dan cara pemotongan daun dan ranting yang akan didestilasi.

4.3. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Kabupaten Garut

a. Aspek Budidaya

Sentra nilam di Kabupaten Garut pada saat ini baru dalam tahap awal pengembangan, yaitu di sekitar daerah Pakenjeng, Malangbong dan Cilawu. Fokus utama pada daerah tersebut adalah pengembangan bibit dan budidaya varietas unggul agar sesuai untuk kondisi setempat. Pembibitan yang dikelola oleh masyarakat saat ini dapat memenuhi kebutuhan bagi kelompok tani dengan rata-rata produksi bibit per periode tanaman sekitar 1 – 2 bulan antara 20.000 hingga 30.000 bibit.

0g11

b. Unit Destilasi

Untuk sentra nilam di kabupaten Garut saat ini belum menggunakan unit destilasi yang modern. Kebanyakan kelompok tani masih menggunakan peralatan yang sederhana dengan menggunakan drum dan sumber pemanas dari kayu bakar. Sehingga minyak yang dihasilkan masih di bawah standar yang ditentukan. Saat ini beberapa kelompok tani tengah mengupayakan membangun unit destilasi modern dengan bahan stainless dan sumber pemanas kompor / burner yang lebih baik.

4.4. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Kabupaten Bandung

Pengamatan dilakukan pada salah satu pengusaha agribisnis yang tertarik untuk mengembangkan tanaman nilam, yaitu di desa Arjasari kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. Perusahaan yang dikelola oleh swasta ini baru sebatas uji coba unit destilasi sedangkan kebun untuk budidaya tanaman nilam belum memadai dan masih dalam tahap penyiapan. Untuk saat ini pemenuhan bahan baku penyulingan daun nilam diperoleh dari berbagai daerah, antara lain : Garut dan Tasikmalaya. Unit destilasi yang digunakan adalah sebagaimana disajikan pada gambar berikut.

0g12-13


V. REKOMENDASI UMUM

Berdasarkan hasil pengamatan keseluruhan di beberapa lokasi observasi dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

  1. Perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan mulai dari jenis tanah, kesuburan tanah, topografi, ketinggian tempat dan zona klimatisasinya agar diperoleh pertumbuhan tanaman nilam yang paling baik.
  2. Perlunya perbaikan budidaya tanaman nilam yang lebih baik untuk mendapatkan mutu minyak yang seragam. Perbaikan teknis budidaya dapat dilakukan melalui pemilihan atau seleksi bibit yang baik dan seragam kemudian diadaptasikan secara intensif untuk memberikan hasil rendemen minyak nilam yang semaksimal mungkin.
  3. Perlu diperhatikan model rancangan unit destilasi terutama pada bagian pemindah panas dan bahan tangki destilasinya agar tidak mengurangi mutu minyak yang dihasilkan.
  4. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui adanya masalah pada limbah daun nilam sisa destilasi. Jumlah timbunan limbah yang makin menumpuk menyebabkan dampak negatif pada tanah, tanaman, air dan lingkungan di sekitarnya.
  5. Perlu adanya pelatihan dan penyuluhan intensif mulai dari cara budidaya, aspek teknologi destilasi dan manajemen mutu minyak menjelang di pasarkan.


DAFTAR PUSTAKA

James E. Austin. 1981. Agroindustrial Project Analysis. John Hopkins University Press. Baltimore. Maryland USA.

O’neil, P., 1993. Environmental Chemistry, 2nd Edition. Chapman Hall, London.

Departemen Pertanian. 2000. Jurnal Litbang Pertanian 19( 1 ), 2000

PT. Cakrawala Pengembangan Agro Sejahtera. 2001. Minyak Atsiri, Jawaban Atas Salah Satu Masalah Klasik Pertanian Indonesia. Publikasi 19 November 2001.

www.bi.go.id

www.javaklik.com

Sumber : http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/atsiri-nilam/roni-kastaman-dan-ade-m-kramadibrata/