Rabu, 22 Februari 2012

KAJIAN TEKNIS BUDIDAYA DAN MANAJEMEN PRODUKSI PENGOLAHAN MINYAK NILAM DI BEBERAPA SENTRA NILAM JAWA BARAT

KAJIAN TEKNIS BUDIDAYA DAN MANAJEMEN PRODUKSI PENGOLAHAN MINYAK NILAM DI BEBERAPA SENTRA NILAM JAWA BARAT

(The Study of Pogostemon cablin Cultivation and The Patchouli Oil Production Management in The Centre of Production Regions of West Java Province)

Oleh : Roni Kastaman dan Ade M.Kramadibrata ; Staf akademik Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung. Kampus UNPAD Jatinangor Km 21 Sumedang. E-mail : tikakiki@yahoo.com

(Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional Tahunan PERTETA, dengan tema Pengembangan Inkubator Agrobisnis Berbasis Teknologi Tepat Guna, 10 Desember 2003. Di Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI – Subang)

Abstract

Untill now there is no appropriate information to describe the sufficient of agroindustrial management of patchouli oil in West Java, especially on cultivation aspect and production management in the production centre. In order to describe the existing condition about this situation, the research has been conducted in Tasikmalaya, Garut, Majalengka and Bandung Region on June untill October 2003. The research uses descriptive method and the result shown that for all of the centre need further improvement especially on agronomical aspect, topography, soil condition, and plant suitability to obtain the best quality og patchouli oil. It needs better cultivar of plant to meet the best quality of the oil. There is a few weaknesses on the destilator design so that it should be modified in order to fulfill the uniformity of heat from boiler to the tank of destilator. The waste handling management in every centre of the region is still poor and tend to be improved in the future. To comfirm with the mission of small and medium entreprise needs, the group of the farmer should be well trained primary on agronomical aspect, production technology of the patchouli oil, quality management and good waste management. Keyword : pogostemon cablin, patchouli oil, agronomical aspect, production technology.

I. LATAR BELAKANG

Hampir sekitar 90 % pasokan minyak nilam dunia (+ 1.500 ton) adalah berasal dari Indonesia terutama dari daerah Propinsi Aceh. Namun dengan memburuknya situasi keamanan di Propinsi Aceh pada akhir-akhir ini, pasokan minyak nilam Indonesia juga ikut berkurang. Sehingga situasi ini membuka peluang bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan usaha komoditas ini. Minyak nilam mempunyai prospek usaha yang cerah mengingat komoditas ini di Amerika dan Eropah bisa mencapai harga USD 50/Kg yang terutama dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan minyak wangi (sebagai pengikat bau atau fixative parfum) dan kosmetik. Namun minyak nilam juga bisa dimanfaatkan untuk bahan anti-septik, anti-jamur, anti-jerawat, obat eksim dan kulit pecah-pecah, serta berbagai jenis kegunaan lainnya sesuai kebiasaan masyarakat di negara pemakai.

Di Jawa Barat, tanaman nilam telah dikembangkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Bandung, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, baik oleh swasta maupun melalui dukungan Dinas terkait (misalnya : Dinas Koperasi & UKM dan Dinas Perindag) dengan pertumbuhan yang cukup memuaskan. Oleh karenanya budidaya tanaman nilam ini perlu diupayakan dengan dukungan teknologi pengolahan (destilasi) yang lebih efisien dan berkualitas agar mempunyai daya saing dan lebih efisien dan berkualitas agar mempunyai daya saing dan lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem konvensional yang ada.

Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan hingga saat ini belum ada kajian yang terkait dengan aspek teknis budidaya dan manajemen produksi terhadap sentra nilam yang ada di Jawa Barat. Sehingga belum dapat diketahui apakah dari sisi budidaya maupun kinerja manajemen produksi agroindustri nilam tersebut sudah memenuhi syarat ataukah belum. Dengan demikian penelitian yang bertujuan mendapatkan gambaran kondisi tersebut perlu kiranya dilakukan.

II. POKOK PERMASALAHAN

Ada beberapa hal yang ingin diketahui dalam observasi lapangan berkaitan dengan budidaya dan teknologi penyulingan minyak nilam di Jawa Barat, antara lain yaitu :

  1. Mengevaluasi hasil budidaya tanaman nilam dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan oleh unit destilasi yang dibuat agar dapat diketahui apakah kondisi saat ini telah sesuai dengan standar mutu minyak nilam yang telah ditetapkan.
  2. Mengevaluasi kinerja perangkat unit destilasi (penyulingan) minyak nilam yang telah dibuat, sehingga secara teknis penyulingan yang dilakukan mampu memberikan mutu minyak yang terbaik.
  3. Memberikan rekomendasi guna perbaikan teknis budidaya tanaman dan sistem penyulingan minyak nilam yang baik dan optimal

III. METODOLOGI

Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Oktober 2003 di sentra agroindustri nilam di Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Kegiatan yang telah dilakukan di beberapa daerah antara lain:

  1. Survey lapangan, yaitu mencakup pengamatan visual (observasi) ke daerah penanaman (budidaya) tanaman nilam di Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Majalengka dan Kabupaten Bandung, dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum lokasi dan evaluasi kesesuaian lahan budidaya tanaman nilam.
  2. Pengamatan visual pada areal budidaya dan unit instalasi penyulingan minyak nilam di kecamatan Pager Ageung Kabupaten Tasikmalaya, kemudian di kecamatan Cilawu (perbatasan Kabupaten Garut – Tasikmalaya), kecamatan Banjaran (kabupaten Bandung) dan kecamatan Argapura (Kabupaten Majalengka), dengan maksud untuk mendapatkan gambaran teknis dan kinerja unit penyulingan minyak nilam yang akan digunakan oleh masyarakat petani di lokasi pengamatan.
  3. Pengambilan sample (contoh) daun nilam dan minyak nilam yang didestilasi dengan peralatan yang ada untuk kemudian dianalisis di laboratorium kimia, dalam hal ini Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran.
  4. Evaluasi teknis budidaya dan mutu minyak nilam yang dihasilkan serta analisis prospektif pemanfaatan produk samping dari limbah daun nilam hasil destilasi.

IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya

a. Aspek Budidaya

Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh gambaran sebagai berikut :

  1. Lokasi penanaman tersebar di banyak lokasi dengan keragaman karakteristik lahan, tanah dan tanaman yang signifikan secara visual. Hal ini terlihat dari tidak seragamnya produktivitas tanaman yang dihasilkan. Beberapa gambaran visual lokasi pengamatan teknis budidaya tanaman nilam tersebut adalah seperti yang disajikan pada gambar berikut :
    0g1

  2. Cara pemanenan belum mengikuti kaidah atau prasyarat bagi tercapainya mutu minyak nilam yang baik. Hal ini terlihat dari gambar di atas, dimana cara pemanenan dan pengeringan tidak terkontrol dengan baik.
  3. Kesesuaian lahan nampaknya belum diuji secara laboratorium dan hal ini terlihat dari belum seragamnya hasil mutu minyak setelah dianalisis di laboratorium. Oleh karena itu pengujian tanah dan penentuan kesesuaian lahan baik dari sisi topografi dan zona klimatisasinya perlu dilakukan untuk masa yang akan datang.

b. Pengamatan Visual dan Kinerja Unit Destilasi

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, baik di bengkel yang mengerjakan rancang bangun unit destilasi minyak nilam, maupun di lapangan tempat uji coba mesin dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Sistem pemanasan destilasi tidak seragam (tidak merata) sehingga hal ini berdampak pada mutu minyak yang dihasilkan tidak seragam (Gambar 7.) disamping itu dengan sistem destilasi seperti yang dirancang sekarang ini akan mengkonsumsi energi yang berlebih dengan sistem perpindahan panas yang tidak merata karena panas didistribusikan secara serial (Gambar 8.). Untuk perbaikan di masa yang akan datang perlu dimodifikasi sistem penyebaran panas secara konsentrik radial, sehingga pemanasan akan lebih merata.
    0g7-8

  2. Cara penampungan minyak seharusnya diperbaiki dengan tidak menggunakan bahan penampung dan penyimpanan dari bahan plastik. Bahan yang baik setidaknya adalah bahan kaca berwarna gelap agar tidak mengubah komposisi kimia minyak nilam yang dihasilkan.
  3. Cara pembuangan uap harus diupayakan agar beberapa bagian uap yang masih mengandung minyak tidak terbuang percuma ke luar sistem destilasi, dengan demikian harus dimodifikasi sistem pengeluaran uap yang berbentuk sistem “looping” (arus balik).
  4. Bahan pipa-pipa penyalur dan konstruksi lainnya harus seragam dan terbuat dari bahan “stainless steel” agar tidak berpengaruh terhadap kualitas minyak.
  5. Penyimpanan daun kering dan cara pengeringan daun dari sejak dipotong dari kebun harus diupayakan seoptimal mungkin untuk menghindari terjadi fermentasi dan susut rendemen minyak dalam daun, mengingat sistem destilasi yang digunakan pada disain yang ada saat ini adalah sistem penyulingan cara kering (menggunakan daun kering).
  6. Sistem pendinginan untuk kondensasi uap – minyak perlu disempurnakan sehingga aliran air yang masuk ke pendingin dapat berfungsi secara maksimal dan merata dengan demikian hasil dan mutu minyak yang diperoleh dapat lebih baik.

c. Hasil Analisis Laboratorium untuk Hasil Minyak Nilam

Dari hasil pengujian sample daun dan minyak nilam di laboratorium kimia Universitas Padjadjaran, dapat disampaikan beberapa kesimpulan teknis, baik yang menyangkut aspek tanaman yang telah dibudidayakan, maupun minyak hasil destilasi dengan menggunakan mesin yang telah dipasang di daerah sentra produksi Pager Ageung, Kabupaten Tasikmalaya (hasil uji pada lampiran).

Tanaman Nilam yang digunakan sebagai sumber minyak nilam dalam hal ini tidak dapat diketahui dengan pasti varietasnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

  1. Pada saat pengambilan sample diketahui bahwa terdapat 5 jenis tanaman dengan varietas yang berbeda (tanpa nama species yang pasti) yang ditanam pada satu lokasi penanaman.
  2. Taman tersebut memiliki nama daerah yang sama, yaitu : Nilam Aceh, tapi asal yang berbeda, yaitu ; Cisaroni, Bengkulu 1, Sidikalang, Bengkulu 2 dan Lokal.
  3. Akibat dari faktor-faktor diatas, daun yang sekarang dihasilkan tidak tertutup kemungkinan telah mengalami perubahan dalam arti terjadi persilangan yang menghasilkan varietas baru yang tidak diketahui dengan pasti kualitasnya.
  4. Dari hal-hal tersebut diatas dapat dilihat satu bukti yang nyata yaitu rendahnya kadar Patchouli alcohol (20,28 %) yang mana hal ini menunjukkan bahwa proses biokimia pembentukan senyawa tersebut tidak berlangsung dengan baik. Hal ini juga mengindikasikan bahwa telah terjadi ketidakcocokan sistem budidaya antara faktor genetik (spesies tanaman) dan faktor pendukung lingkungan ( unsur hara, iklim, dll).

Disamping hal tersebut di atas juga belum dapat diketahui bagaimana sebenarnya cara budidaya tanaman nilam tersebut dilakukan di lapangan, apakah mengikuti kaidah budidaya, pola tanam, syarat tumbuh dan kesesuaian lahannya (baik dari sisi iklim, tanah, topografi, dan faktor lainnya). Untuk itu perlu kiranya dilakukan kegiatan pengamatan lebih lanjut dan penyuluhan intensif kepada petani agar aspek budidaya tanaman dan pemilihan varietas nilam dapat dilakukan dengan baik, agar dihasilkan minyak dengan kadar yang baik pula.

Minyak Nilam yang dihasilkan, baik yang diperoleh dari uji daun maupun dari uji sample minyak yang diperoleh dari destilator yang ada di pager Ageung, hampir seluruhnya tidak memenuhi dengan lengkap standar spesifikasi perdagangan (SNI: 06-2385-1991).

Hal ini diperkirakan sebagai akibat dari :

  1. Daun tanaman tidak memenuhi standar kualitas, yang kemungkinan diakibatkan oleh :
    • Varietas tanaman tidak unggul atau telah terjadi penyerbukan silang diantara varietas tanaman yang belum diketahui spesifikasi asalnya dengan jelas.
    • Daya dukung ekologi/lahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman
    • Proses pemeliharaan budidaya
    • Kesalahanan proses produksi pasca panen, yang salah satunya faktornya adalah dekomposisis kandungan minyak atsiri pada proses pengeringan.
  2. Mekanisme proses destilasi yang terjadi dalam mesin / alat destilasi belum bekerja secara sempurna, akibat laju pemanasan tidak seragam dan proses penguapan yang kurang sempurna. Proses Penyulingan yang kurang sempurna ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
    • Kualitas alat (bahan logam) dari sistem penyulingan yang digunakan kurang baik, sehingga masih terdapat kandungan logam-logam yang dapat terlarut dan bereaksi dengan minyak nilam selama proses penyulingan.
    • Kebersihan seluruh sistem peralatan yang digunakan, sehingga terdapat kemungkinan masuknya kotoran yang bukan dari minyak atsiri ke dalam minyak hasil penyulingan. Bukti yang paling jelas adalah pada minyak atsiri yang dihasilkan terdapat sisa-sisa proses karbonisasi (berupa bau minyak terbakar).
    • Tempat penyimpanan / tempat penampungan minyak tidak sesuai dengan standar (sebaiknya bahan kaca gelap / tidak tembus cahaya).

d. Solusi Dan Saran Perbaikan

Berdasarkan hasil kajian data data diatas dapat disimpulkan :

  1. Perlu dilakukan analisis total terhadap parameter sistem agribisnis yang ada, yang terdiri dari :
    • Analisis daya dukung lingkungan (seperti kesesuaian unsur hara, pH, iklim, topografi, dll)
    • Analisis tanaman (kepastian varietasnya)
    • Analisis sistem penyulingan ( kadar logam terlarut, tempat penampungan minyak, termodinamika penyulingan, sistem perpindahan panas, dll)
  2. Dari ketiga faktor diatas, salah satu cara yang paling cepat untuk dilakukan adalah penggunaan bibit nilam dengan varietas yang jelas dan kualitas yang baik serta diadaptasikan terlebih dahulu. Diharapkan dengan kualitas bibit yang baik akan mampu memberikan minyak nilam dengan kualitas yang baik.
  3. Untuk mendapatkan mutu minyak hasil destilasi perlu dilakukan penyetelan ulang mesin dan bila memungkinkan dilakukan modifikasi sistem penyulingan sehingga diperoleh cara pemanasan daun (sistem penguapan), yang seragam dengan derajat pemanasan yang terkendali. Sistem pemanasan juga dapat dilakukan dengan cara penguapan pada daun basah dan pada daun kering. Namun untuk itu diperlukan studi lebih lanjut.

4.2. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Dusun Calincing Kecamatan Argapura Kabupaten Majalengka

a. Aspek Budidaya

Areal budidaya tanaman nilam untuk kabupaten Majalengka saat ini terpusat di dusun Calingcing kecamatan Argapura. Luas areal budidaya yang ada saat ini sekitar 70 hektar tersebar di beberapa dusun dengan pola penanaman tumpang sari dengan tanaman tahunan di kaki gunung yang ada di sekitarnya. Dari hasil observasi lapangan dapat diketahui bahwa varietas tanaman yang dibudidayakan oleh petani sudah seragam (varietas Sidikalang) dimana proses awal budidaya dilakukan dengan menguji coba kesesuaian varietas tanaman tersebut bekerjasama dengan Balitro.

0g9

b. Pengamatan Visual dan Kinerja Unit Destilasi

Pada awalnya unit destilasi yang ada di lokasi pabrik menggunakan cara destilasi daun basah, akan tetapi pada uji coba awal ada kelemahan pada sistem pemanasan sehingga pada akhirnya unit destilasi dimodifikasi kembali untuk penanganan bahan baku daun kering. Elemen pemanas yang digunakan saat ini adalah batu bara atau minyak tanah (dengan menggunakan kompor pemanas khusus sebagaimana terlihat pada gambar).

0g10

Hasil uji coba pada unit destilasi yang ada menunjukkan tingkat persentase pachouli alkohol (PA) yang dihasilkan telah memenuhi syarat minimal standar produksi nilam dimana PA yang diperoleh sekitar 34% (standar yang syaratkan harus lebih besar dari 30%). Rendemen minyak hasil destilasi dengan unit destilasi yang ada saat ini baru mencapai 2,6% dari berat kering daun yang diproses. Kinerja yang ada saat ini masih dapat ditingkatkan antara lain dengan memperbaiki sistem pemanasan dan cara pemotongan daun dan ranting yang akan didestilasi.

4.3. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Kabupaten Garut

a. Aspek Budidaya

Sentra nilam di Kabupaten Garut pada saat ini baru dalam tahap awal pengembangan, yaitu di sekitar daerah Pakenjeng, Malangbong dan Cilawu. Fokus utama pada daerah tersebut adalah pengembangan bibit dan budidaya varietas unggul agar sesuai untuk kondisi setempat. Pembibitan yang dikelola oleh masyarakat saat ini dapat memenuhi kebutuhan bagi kelompok tani dengan rata-rata produksi bibit per periode tanaman sekitar 1 – 2 bulan antara 20.000 hingga 30.000 bibit.

0g11

b. Unit Destilasi

Untuk sentra nilam di kabupaten Garut saat ini belum menggunakan unit destilasi yang modern. Kebanyakan kelompok tani masih menggunakan peralatan yang sederhana dengan menggunakan drum dan sumber pemanas dari kayu bakar. Sehingga minyak yang dihasilkan masih di bawah standar yang ditentukan. Saat ini beberapa kelompok tani tengah mengupayakan membangun unit destilasi modern dengan bahan stainless dan sumber pemanas kompor / burner yang lebih baik.

4.4. Gambaran Observasi Lapangan di Sentra Nilam Kabupaten Bandung

Pengamatan dilakukan pada salah satu pengusaha agribisnis yang tertarik untuk mengembangkan tanaman nilam, yaitu di desa Arjasari kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. Perusahaan yang dikelola oleh swasta ini baru sebatas uji coba unit destilasi sedangkan kebun untuk budidaya tanaman nilam belum memadai dan masih dalam tahap penyiapan. Untuk saat ini pemenuhan bahan baku penyulingan daun nilam diperoleh dari berbagai daerah, antara lain : Garut dan Tasikmalaya. Unit destilasi yang digunakan adalah sebagaimana disajikan pada gambar berikut.

0g12-13

V. REKOMENDASI UMUM

Berdasarkan hasil pengamatan keseluruhan di beberapa lokasi observasi dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut :

  1. Perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan mulai dari jenis tanah, kesuburan tanah, topografi, ketinggian tempat dan zona klimatisasinya agar diperoleh pertumbuhan tanaman nilam yang paling baik.
  2. Perlunya perbaikan budidaya tanaman nilam yang lebih baik untuk mendapatkan mutu minyak yang seragam. Perbaikan teknis budidaya dapat dilakukan melalui pemilihan atau seleksi bibit yang baik dan seragam kemudian diadaptasikan secara intensif untuk memberikan hasil rendemen minyak nilam yang semaksimal mungkin.
  3. Perlu diperhatikan model rancangan unit destilasi terutama pada bagian pemindah panas dan bahan tangki destilasinya agar tidak mengurangi mutu minyak yang dihasilkan.
  4. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui adanya masalah pada limbah daun nilam sisa destilasi. Jumlah timbunan limbah yang makin menumpuk menyebabkan dampak negatif pada tanah, tanaman, air dan lingkungan di sekitarnya.
  5. Perlu adanya pelatihan dan penyuluhan intensif mulai dari cara budidaya, aspek teknologi destilasi dan manajemen mutu minyak menjelang di pasarkan.

DAFTAR PUSTAKA

James E. Austin. 1981. Agroindustrial Project Analysis. John Hopkins University Press. Baltimore. Maryland USA.

O’neil, P., 1993. Environmental Chemistry, 2nd Edition. Chapman Hall, London.

Departemen Pertanian. 2000. Jurnal Litbang Pertanian 19( 1 ), 2000

PT. Cakrawala Pengembangan Agro Sejahtera. 2001. Minyak Atsiri, Jawaban Atas Salah Satu Masalah Klasik Pertanian Indonesia. Publikasi 19 November 2001.

www.bi.go.id

www.javaklik.com


Sumber : http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/atsiri-nilam/roni-kastaman-dan-ade-m-kramadibrata/

Komposisi Komponen Minyak Nilam

Komposisi Komponen Minyak Nilam

Minyak nilam mengandung lebih dari 30 jenis komponen kimia, diantaranya termasuk antara lain :

4 hidrokarbon monoterpen,

9 hidrokarbon sesquiterpen,

2 oksigenated monoterpen,

4 epoksi,

5 sesquiterpen alkohol,

1 norseskuiterpen alkohol,

2 seskuiterpen keton dan

3 seskuiterpen ketoalkohol.


Komponen utama yang terdapat dalam minyak nilam

ß–patchoulene;

α-gurjunene;

α–guaiene;

ß–caryophyllene;

α–patchoulene;

seychellene;

α–bulnesene;

ß–guaienepoxide;

α–bulnesenepoxide;

norpatchoulenol;

patchoulol; dan

pogostol.


Karakteristik menurut ISO 3757:2002,

warna kuning–coklat kemerahan;

bobot jenis 20°C/20°C = 0,952 – 0,975;

indeks bias (nD20) = 1,5050–1,5150;

kelarutan dalam etanol 90% pada suhu 20°C : larutan jernih atau opalesensi ringan dalam perbandingan volume 1:10;

bilangan Asam : maksimum 4;

bilangan Ester : maksimum 10;

putaran Optik (-)40°–(-)60° dan

profil kromatografi gas,


dengan komponen (minimum(%)-maksimum(%)) :

ß-patchoulene 1,8 – 3,5;

copaene trace - 1;

α-guaiene 11-16;

ß-caryophyllene 2–5;

bulnesene 13- 21 ;

nor-patchoulenol 0,35-1 ;

patchoulol 27- 35 ;

dan pogostol 1- 2,5.


Sumber : http://www.putraindonesiamalang.or.id/potensi-nilam-indonesia.html

Meningkatkan Presentasi PA pada Nilam

Meningkatkan Presentasi PA pada Nilam

Sesuai judulnya, sekarang saya mau bahas tentang bagaimana meningkatkan nilai presentasi Patchouli Alcohol dalam minyak nilam. Seperti kita ketahui bahwa PA merupakan senyawa marker atau penanda pada minyak nilam. Keberadaan presentasinya mempengaruhi nilai jual beli minyak ini (di luar naik turunnya harga hehehe).

Sudah banyak yang mencoba mengembangkan varietas baru dalam tanaman nilam ini, dan sebagian besar mengembangkan melalui jalur budidaya. disini saya mau mengutarakan hasil penelitian saya dan teman2 di Pusat Study Minyak Atsiri UII dalam meningkatkan nilai PA dari segi pasca panen dan produksi.

Dari hasil peneitian yang dilakukan, kami mendapatkan peningkatan nilai PA yang cukup signifikan. Dengan mengembangkan teknik water bubble distillation yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh Prof. Dr. Hans J Siwon, kami mendapatkan Angka PA diatas rata2 yakni sekitar angka 43% dengan bahan baku dari Jepara yang rata- rata memiliki Angka PA di kisaran 27 – 31%.


Peak 16 dan 17 merupakan kromatogram dari senyawa Patchouli alkohol dengan kadar 43%.

Teknik water bubble ini menggunakan uap panas untuk mendidihkan air dalam retort (dalam hal ini sebenarnya dasarnya adalah water distillation) kemudian diberikan pengaduk didalamnya sehingga material yang disuling bergerak sempurna. fungsi gerakan dari material supaya pengangkatan minyak oleh uap air lebih sempurna dan merata. Minyak yang dihasikan nantinya lebih kental alias viskositasnya lebih tinggi.

Selain itu juga pada proses pra produksi atau waktu penyiapan bahan. Material yang akan di suling sebaiknya di kominusi (rajang kecil2) terlebih dahulu, namun ada baiknya di kominusi setelah kering angin, jangan terlalu kering. Ada baiknya di gantung jangan jemur langsung di terik matahari (kebanyakan di daerah Sulawesi dijemur langsung dan dicacah saat basah).

PEnjemuran yang baik

Setelah di kominusi, ada baiknya untuk dilakukan fermentasi kecil, namun jangan terlalu lama (jangan sampai busuk). perlakuan fermentasi ini akan meningkatkan kadar dan memberikan aroma yang lebih manis terhadap minyak nilam, berikut percakapan saya dengan Robert Seidel pemiliki The Essential Oil Company yang juga menyarankan penggunaan fermentasi :


Perlakuan tersebut sudah berlaku di India, dan menurutnya itu merupakan alasan mengapa aroma India saat ini mulai disukai di US. dan bila dicoba mungkin akan memberikan dampak yang baik bagi perkembangan kualitas minyak nilam Indonesia. Selamat mencoba.

* Percobaan penyulingan skala lab by : Resi Arie Andhini, S.Si Ilmu Kimia UII 2006

*Percobaan semi industri by : Martsiano


Sumber : http://martsiano.wordpress.com/tag/fermentasi-nilam/


Kualitas Nilam Aceh Terbaik Dunia

Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Gun

TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH -
Aceh dinilai cukup potensial untuk mengembangkan komoditas nilam berskala besar. Selain kualitas nilam Aceh merupakan yang terbaik di dunia, Serambi Mekah itu juga tercatat sebagai daerah penyumbang terbesar ekspor nilam Indonesia.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Bogor, minyak nilam asal Aceh memiliki kandungan zat minyak (rendemen) 2,5 hingga 3,3 persen. Sementara rendemen rata-rata nilam di dunia maksimal hanya 2,5 persen. "Mutu nilam Aceh terbaik di dunia." kata Ketua Pusat KUD (Puskud) Aceh, Ir M Hanafiah, kepada Serambi, Sabtu (29/1/2011).

Hanafiah menjelaskan, secara sepintas lahan tempat tumbuh nilam tak jauh berbeda dengan ganja yang dikenal subur di Aceh. Karena itu, prospek Aceh untuk mengembangkan nilam daam skala besar menurut dia cukup besar.

Aspek lain, pasar nilam di dunia juga masih terbuka cukup lebar mengingat produksi yang ada baru mampu memenuhi sekitar 15 persen dari total kebutuhan dunia. Indonesia menyumbang 80 persen dari kebutuhan tersebut, yang 75 persennya ternyata berasal dari Aceh. "Jadi Aceh punya prospek bagus mengembangkan nilam. Ini dapat menjadi alternatif petani untuk meningkatkan perekonomian," ujar Hanafiah.

Kerja sama
Mengingat tingginya prospek pasar nilam, Puskud Aceh bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) mulai mengembangkan komoditas nilam di Aceh, di antaranya dengan menggebrak program tanam nilam di beberapa kawasan seperti di Lamteuba Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya.

Di Aceh Besar, program sudah memasuki proses penanaman di lahan seluas enam hektare yang melibatkan KUD dan tiga kelompok tani. Panen diperkirakan akan berlangsung Juni mendatang. Sedangkan di Pidie dan Pidie Jaya juga sudah memasuki tahap penyemaian dan pembersihan lahan seluas 300 hektare yang melibatkan 12 kelompok tani.

"Program ini juga bekerja sama dengan Jepang melalui sistem sharing profit (bagi hasil). Tahap pertama ini tersedia dana sekira Rp 9 miliar, mulai dari penyediaan lahan, penanaman, produksi, dan penyulingan. Kita akan berkoordinasi dengan Disperindagkop Aceh guna membina para petani," ucap Hanafiah.

Untuk mendukung program tersebut, juga telah disediakan mesin penyuling berteknologi tinggi di Tangse, Pidie, yang diprakarsai oleh sejumlah ahli dari Bogor. Dengan mesin ini, keuntungan yang diperoleh petani akan lebih besar. "Dari 40 kilogram daun nilam, minyak yang dihasilkan mencapai 1 kilogram. Sementara biasanya, dari 100 kilogram daun, minyak yang dihasilkan hanya sekitar 1 ons," sebut Ketua Puskud Aceh ini.

Dalam program ini petani juga akan dibantu dalam hal packaging (pengemasan) dan pemasaran. Nilam biasanya tumbuh, di lahan dengan ketinggian 100 meter dpl, dengan suhu tak terlalu dingin. Harga jual cenderung fluktuatif, dari Rp 600.000 hingga Rp 1 juta.

Sumber : http://www.ikhwanesia.com/2011/07/kualitas-nilam-aceh-terbaik-dunia.html

Perbanyakan vegetatif tanaman nilam melalui teknik kultur jaringan

Perbanyakan vegetatif tanaman nilam melalui teknik kultur jaringan

Nilam (Pogestemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sebagai penghasil devisa negara dan sebagai sumber pendapatan petani. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu minyak nilam adalah penggunaan bibit tanaman nilam yang tidak terjamin standarisasinya. Bibit biasanya dibeli dari daerah sentra produksi nilam lain.

Selama ini penggunaan bibit nilam tidak memperhatikan keunggulan tanaman, besarnya rendemen minyak, ketahanannya terhadap hama dan penyakit. Sehingga kadar pachoully alkohol yang diperoleh rata-rata rendah kurang dari 30%. Penggunaan bibit unggul yang sehat dan dapat disediakan terus menerus diperlukan untuk budidaya nilam yang berkelanjutan. Saat ini ada 3 klon nilam dari wilayah Aceh (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) memiliki kadar minyak dan mutu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan klon lain dengan rendemen berkisar antara 2-4% dan kadar PA berkisar antara 32-33%. Namun demikian, upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman, rendemen dan mutu minyak nilam melalui pengembangan bibit unggul yang sehat perlu dilakukan.

Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas bahan baku nilam dapat dilakukan melalui teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan selain dapat digunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman nilam secara in vitro untuk menghasilkan klon-klon yang sehat dalam jumlah yang besar dalam waktu yang relatif singkat, serta dapat digunakan untuk menghasilkan tanaman dengan sifat baru.

Saat ini Jurusan Biologi FMIPA UB telah mengembangkan metode baku perbanyakan nilam melalui teknik kultur jaringan. Pengembangan metode regenerasi tanaman secara in vitro ini merupakan prasyarat untuk dapat melakukan berbagai pengembangan tanaman dengan sifat baru melalui teknik kultur jaringan.

Perbanyakan vegetatif nilam dengan teknik kultur jaringan dilakukan melalui tahapan: induksi tunas, pemanjangan tunas dan induksi perakaran serta aklimatisasi plantlet pada media tanah
(Gambar 1).

Induksi tunas nilam in vitro dilakukan dengan menggunakan eksplan daun
(Gambar 1A) yang dikultur pada medium MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP.

Tunas mulai terbentuk dari eksplan setelah 2 minggu kultur (Gambar 1B).

Pemanjangan tunas dilakukan dengan mengkultur tunas yang terbentuk umur 6 minggu (Gambar 1C) pada media MS dengan penambahan hormon GA3.

Pada media yang mengandung GA3 ini, selain tunas mengalami pemanjangan, akar juga mulai terbentuk dari tunas-tunas nilam (Gambar 1D).

Setelah 4 minggu dalam media ini, plantlet diaklimatisasi (Gambar 1E dan F). Dua minggu setelah aklimatisasi plantlet dipindah ke polibag dan siap dipindah dalam penanaman dalam bentuk demplot.

kultur jaringan

Sumber : http://atsiri.ub.ac.id/berita36-Perbanyakan-vegetatif-tanaman-nilam-melalui-teknik-kultur-jaringan.htm

PENGARUH FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK ATSIRI DARI DAUN NILAM (Pogostemon cablin Benth.)

PENGARUH FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK ATSIRI DARI DAUN NILAM (Pogostemon cablin Benth.)

Oleh : Erik Setiawan (NIM 107 03 091), S1 - Department of Pharmacy


Abstrak :

Kajian tentang pengaruh fermentasi terhadap rendemen dan kualitas minyak nilam telah dilakukan. Serbuk daun nilam kering difermentasi selama 6, 12 dan 24 jam kemudian minyak atsirinya diisolasi dengan destilasi air. Minyak nilam yang dihasilkan ditentukan rendemen dan kualitasnya kemudian dibandingkan dengan syarat mutu Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pemerikasaan kualitas meliputi bobot jenis, indeks bias, kelarutan dalam etanol 90 %, bilangan asam, dan kadar patchouli alkohol. Rendemen minyak nilam yang difermentasi berada pada rentang 1,50 - 2,00 %, sedangkan yang tidak difermentasi berada pada rentang 1,88 - 2,00 %. Bobot jenis minyak nilam yang tidak difermentasi adalah 0,942 g/mL, sedangkan hasil fermentasi berada pada rentang 0,944-0,976 g/mL.

Indeks bias minyak nilam yang difermentasi maupun yang tidak difermentasi berada di bawah nilai indeks bias minyak nilam berdasarkan SNI. Bilangan asam minyak nilam hasil fermentasi berada pada rentang 3,84-5,52 sedangkan yang tidak difermentasi adalah 2,20. Kadar patchouli alkohol dari minyak nilam hasil fermentasi maupun yang tidak difermentasi memenuhi syarat mutu SNI.



EFFECT OF FERMENTATION ON THE YIELD AND QUALITY OF VOLATILE OIL FROM PATCHOULI LEAVES (Pogostemon cablin Benth.)

Abstract :

The effect of fermentation on the yield and quality of patchouli oil has been studied. The dried powder of patchouli leaf was fermented during 6, 12, and 24 hours, and then the oil distillated. Subsequently, the yield and the characteristic of the oil were determined, and compared with requirement of the Indonesian National Standard.

The quality parameters determined were density, refractive index, solubility in ethanol 90 %, acid number, and concentration of patchouli alcohol. The oil yields obtained from the fermented leaves were in the range of 1.50 - 2.00 % while from none fermented leaves were 1.98 - 2.00 %. The density of oil from non fermented leaves was 0.942 g/mL, while from fermented leaves was 0.944 - 0.976 g/mL.

Refractive indexes of oil obtained did not mat the requirement of Indonesian National Standard. Acid numbers of oil from fermented leaves were 3.84 - 5.52, and non fermented leaves were 2.20. Concentrations of patchouli alcohol from fermented and non fermented leaves were in accordance with the Indonesian National Standard.

Copyrights : Copyright (c) 2007 School of Pharmacy ITB.

Information Dissemination Right @ 2007 ITB Central Library Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Indonesia.

Sumber : http://222.124.207.202/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-eriksetiaw-27636

STRATEGI PENINGKATAN RENDEMEN DAN MUTU MINYAK DALAM AGRIBISNIS NILAM

STRATEGI PENINGKATAN RENDEMEN DAN MUTU MINYAK DALAM AGRIBISNIS NILAM

J.T. Yuhono dan Sintha Suhirman; Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Edisi Khusus 2007 01 03 (?)

ABSTRAK

Nilam (Pogostemon cablin Benth) bukan merupakan tanaman asli dari wilayah Singapura. Minyak nilam dipakai sebagai bahan pencampur dan pengikat wangi-wangian dalam industri parfum, farmasi dan kosmetik. Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun dan tangkainya. Untuk memperoleh rendemen minyak yang optimum diperlukan standar perbandingan tertentu antara daun dan tangkai atau ranting yaitu 1:1. Dalam industri parfum minyak nilam merupakan bahan baku utama yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh minyak yang lain. Kendala umum dalam agribisnis nilam antara lain adalah rendahnya kadar minyak, mutu minyak rendah dan beragam, penyediaan produk tidak kontinyu dan harganya berfluktuasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen minyak nilam antara lain adalah penggunaan bibit asalan, cara penanganan bahan baku (perajangan, pelayuan dan pengeringan), cara penyulingan, lama penyulingan, dan penggunaan alat penyuling. Sedangkan yang mempengaruhi mutu minyak antara lain adalah penggunaan bibit asalan, tanah dan iklim, kondisi lahan beragam, sistem pola tanam berpindah-pindah, penggunaan alat penyuling dan pemalsuan minyak serta cara penanganan bahan baku. Sifat-sifat kimia yang penting dalam minyak nilam, diantaranya bilangan asam maksimal 5% dan bilangan ester maksimal 10%. Upaya untuk membuat penyediaan produk supaya kontinyu antara lain penggunaan bibit unggul yang sudah dilepas antara lain : varietas Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang, sistim usahatani nilam secara menetap, melaksanakan pemupukan melalui penambahan kompos dari limbah nilam (3 kg) ditambah pupuk NPK dan dengan pemberian mikorisa dan pupuk kandang 250 gr/tanaman, penanganan bahan tanaman melalui penjemuran (2 hari @ 5 jam), pelayuan dan pengecilan bahan sebelum disuling secara baik dan benar, menggunakan alat penyuling standard yang sudah dipatenkan, upaya pengembangan lahan dan peraturan perdagangan yang ketat dan penyediaan produk yang berkelanjutan.

Kata kunci : minyak nilam, rendemen, mutu, agribisnis

PENDAHULUAN

Nilam (Pogostemon cablin Benth) bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tapi dimasukkan dari wilayah Singapura ke Indonesia sekitar tahun 1895 (Burkil dalam Dhalimi et al., 1998). Awalnya nilam disebut sebagai “Dilem Singapur” sekarang lebih dikenal dengan nilam Aceh. Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun nilam dan tangkainya.

Untuk memperoleh kadar minyak yang optimum diperlukan standar perbandingan tertentu antara daun dan tangkai atau rantingnya yaitu sebesar 1 : 1 (Wikardi et al., 1991), dan sebesar 2 : 1 (Rusli dan Hasanah, 1977), sedang petani nilam di Sumedang biasa menggunakan dengan perbandingan 70 : 30 persen. Dalam perdagangan internasional, minyak nilam hanya digolongkan ke dalam satu jenis mutu, dengan nama dagang patchouly oil, dan dikelompokkan dalam sistim perdagangan internasional dengan kode nomor Harmonized system (HS) 330 129 400 atau kedalam Standar International Trade Clasification (SITC) dengan nomor 551 32294. Minyak nilam yang akan diekspor, harus memenuhi persyaratan yang diterapkan oleh Departemen Perdagangan (Tabel 1).

Re-exposure of 0t1

Minyak nilam antara lain digunakan sebagai bahan baku, bahan pencampur dan fiksatif (pengikat wangiwangian) dalam industri parfum, farmasi dan kosmetik serta makanan dan minuman (Mustika dan Nuryani, 2006) juga sebagai pewangi selendang, karpet dan barang-barang tenunan (Rusli et al., 1985). Dalam industri parfum minyak nilam merupakan bahan baku utama yang fungsinya tidak dapat digantikan oleh minyak yang lain.

Di India daun nilam kering digunakan sebagai pengusir serangga (repellent) pada kain yang akan di ekspor (Robbins, 1982). Minyak nilam juga dapat berfungsi sebagai insektisida untuk larva Spodoptera littorales dengan LC 50 antara 10,1 dan 20,01 ml/m3 (Prawoto dan M.Sholeh, 2006).

Areal tanaman nilam Indonesia pada tahun 2004 adalah seluas 16.639 ha dengan produksi sebesar 2424 ton minyak (Ditjenbun, 2005), dan melibatkan petani pemilik sekitar 32.870 kepala keluarga (KK). Luasan dan banyaknya KK yang terlibat, menunjukkan luas pemilikan lahan garapan petani rata-rata sempit (Kanwil DPP Perindustrian, 1986).

Dari luasan yang sempit-sempit yang dimiliki petani nilam tersebut akan menghasilkan minyak yang juga sedikit. Berarti kondisi minyak nilam dari petanipun sudah beragam. Sentra produksi nilam hanya terpusat di wilayah Sumatera dan Jawa (Ditjenbun, 2006). Enam daerah sentra produksi nilam yang mempunyai luasan di atas 1000 ha, berturut-turut dari luasan tertinggi adalah sebagian Sumatera Barat (4.458 ha/8.989 KK), Nanggroe Aceh Darusalam (2.876 ha/7.312 KK), Sumatera Utara (2.608 ha/3.960 KK), Jawa Tengah (2.292 ha/5.771 KK), Bengkulu (1.620 ha/2.170 KK), dan Jawa Barat (1.395 ha/2.433 KK).

Indonesia menduduki posisi ekspor utama minyak nilam sekitar tahun 1960an, yang sebelumnya ditempati oleh Singapura dan Malaysia (Allen, 1969). Ekspor minyak nilam Indonesia pada tahun 1961 adalah ± 246 ton. Pada tahun 2004 ekspornya meningkat sebesar 900% atau ± 2.074 ton, dengan nilai 27.136.913 U$ dolar (BPS, 2005). Sekitar 75% kebutuhan dunia akan minyak nilam disuplai dari Indonesia (Sumangat dan Risfaheri, 1998), berarti konsumsi dunia akan minyak nilam diperkirakan sebesar 2.300 – 2.400 ton/ tahun.

Minyak nilam merupakan komoditas ekspor, sebesar 85,6% dari total produksi diekspor ke luar negeri (BPS, 2005). Sebagai komoditas ekspor, harga nilam di dalam negeri tergantung dari harga internasional, maka kesejahteraan petani nilam juga sangat tergantung dari harga internasional.

Perkembangan pasar internasional pada hakekatnya menurut Budiarto dan Widodo, (2005) merupakan interaksi antara penawaran berlebih (excces supply) dan permintaan berlebih (excces demand). Apabila penawaran berlebih dan permintaan tetap, maka akan terjadi penurunan harga (Kindleberger dan Lindert, 1991). Begitu sebaliknya apabila penawaran tetap dan permintaan bertambah, maka harga akan meningkat kembali. Hukum tersebut berlaku pula pada komoditas nilam. Naik turunnya harga minyak nilam sangat berpengaruh terhadap petani yang hanya menggantungkan hidupnya dari usahatani.

Walaupun Indonesia mensuplai sekitar 75% (Sumangat dan Risfaheri, 1998) sampai 90 % (Deperindag, 1993) dari kebutuhan dunia, tetapi keberadaan nilam di negeri ini mengalami banyak kendala. Beberapa kendala umum yang ditemui adalah a) rendahnya rendemen minyak nilam yang diperoleh, b) mutu minyak rendah dan beragam, c) penyediaan produk tidak kontinyu dan d) harga yang terjadi berfluktuasi. Permasalahan-permasalahan di atas erat kaitannya satu dengan yang lainnya sehingga diperlukan upaya dan terobosan- terobosan baru yang saling dapat menghilangkan permasalahan tersebut.

Tulisan ini bertujuan menunjukkan permasalahan yang terdapat pada agribisnis nilam, upaya mengatasi dan meningkatkan rendemen serta mutunya.

PERMASALAHAN PADA TANAMAN NILAM

Rendahnya rendemen

Banyak faktor yang mempengaruhi rendah/kecilnya rendemen minyak nilam yang diperoleh antara lain adalah:

a) Teknologi budidaya

  • Penggunaan bibit asalan. Sampai dengan tanggal 1 Agustus 2005 belum ada varietas unggul baru nilam yang dilepas dan sampai saat itu petani nilam masih menggunakan bibit asalan. Disebut bibit asalan karena cara memperolehnya juga secara asalan, tidak memperhatikan keunggulan tanaman, besarnya rendemen minyak, ketahanannya terhadap hama dan penyakit serta varietasnya. Yang dipentingkan adalah kemudahan untuk mendapatkan bibit tersebut. Bibit asalan dibeli dari daerah lain (sentra produksi nilam), membeli atau minta ke tetangga terdekat, akibat dari penggunaan bibit asalan tersebut, kadar yang diperoleh rata–rata rendah sekitar 1 – 2 % dari terna kering atau ± 0,3 – 0,4 dari terna basah.
  • Sistim usahataninya ladang berpindah. Petani nilam di daerah sentra produksi utama masih banyak yang menanam nilam secara berpindah–pindah dengan maksud untuk menghindari serangan penyakit budok dan menghemat biaya produksi (Dhalimi et al., 1998). Sistim tersebut kemudian dikenal dengan usahatani ladang berpindah. Sistim usahatani ladang berpindah tidak ramah terhadap lingkungan, karena setiap penanaman baru, petani akan membuka lahan baru dengan keterbatasan, ketergesaan waktu dan tenaga kerja serta penggunaan bibit seadanya, sehingga akan terjadi erosi genetik. Akibatnya tanaman mengalami penurunan terhadap produktivitas dan kadar minyaknya.
  • Tidak dilakukan pemupukan. Tanaman yang tidak dilakukan pemupukan, akan diperoleh produksi, produktivitas dan kualitas yang rendah. Petani hanya berharap dari humus yang ada pada saat melaksanakan penanaman baru dengan sistim perladangan berpindah. Akibatnya kadar minyak dan rendemen yang diperoleh rendah.

b) Cara penanganan bahan tanaman sederhana dan tidak tepat

Penanganan bahan tanaman sehabis dipanen hanya dilakukan penjemuran di lahan bekas panen selama dua hari penuh (± 2 x 8 jam), akibatnya kadar minyak turun karena kandungan minyak pada tanaman banyak yang menguap. Perbandingan antara bahan yang disuling juga berpengaruh terhadap rendemen yang diperoleh. Makin banyak porsi daun dibanding dengan batang atau sebaliknya dan dengan perbandingan berapa yang tepat belum diketahui. Daun dan batang hasil panen, langsung disuling atau langsung dijual. Akibatnya kadar minyak yang diperoleh akan turun.

c) Alat dan metode dalam penyulingan

Petani umumnya tidak mengenal metode–metode yang baik dan benar dalam melaksanakan penyulingan, seberapa hasil panen yang diperoleh, langsung disuling. Akibatnya rendemen yang diperoleh rendah. Penggunaan alat penyuling sederhana, terdiri dari drum bekas dan kondisinya tidak bersih. Akibatnya kadar minyak nilam yang diperoleh rendah, tidak bersih dan berwarna gelap. Kondisi ini disebabkan antara lain karena adanya ion logam yang kemudian bereaksi dengan senyawa dalam minyak membentuk komplek logam berwarna. Minyak yang berwarna gelap dapat menyebabkan harga murah karena mutu minyak rendah, serta tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (Wahono et al., 2004).

d) Tanah dan iklim kurang sesuai

Tanaman nilam berproduksi secara optimum apabila ditanam pada ketinggian 10 – 400 m dpl, beriklim panas, curah hujan antara 2.300 – 3.000 mm/tahun (Rosman, 1998), suhu ideal antara 22 – 28 0 C dengan kelembaban diatas 75% (Mangun, 2005). Kenyataan dilapangan ditemui tanaman nilam ditanam petani pada daerah–daerah yang kurang/tidak sesuai, akibatnya produksi yang diperoleh rata-rata rendah. Contoh kasus di wilayah propinsi Jawa Tengah, produktivitas minyak nilam rata-rata pada tahun 2003 sebesar 69,41 kg/ha (Ditjenbun, 2006).

Rendahnya mutu minyak

Mutu minyak nilam dapat bervariasi, tergantung pada faktor-faktor berikut ini

a. Penggunaan bibit asalan

Sampai dengan pertengahan Agustus 2005 belum ada varietas unggul nilam yang dilepas dan sampai saat itu petani nilam masih menggunakan bibit asalan. Bibit asalan bisa dibeli dari daerah lain (sentra produksi nilam), membeli atau minta ke tetangga terdekat, akibat dari penggunaan bibit asalan tersebut kadar Pachoully Alkohol yang diperoleh rata-rata rendah dan kurang dari 30%.

b. Kondisi lahan dan mutu minyak beragam

Pengusahaan nilam di Indonesia hampir seluruhnya diusahakan rakyat dalam bentuk perkebunan rakyat. Pada umumnya skala luasannya sempit dan diusahakan pada kondisi lahan yang beragam. Akibatnya mutu yang diperoleh rendah dan beragam. Sebagai gambaran luas pemilikan lahan petani nilam di wilayah Daerah Istimewa Aceh berkisar antara 0,33 ha sampai dengan 0,51 ha per kepala keluarga (Kanwil Deperindag D.I. Aceh, 1986).

Petani di daerah Aceh Selatan rata-rata memiliki sekitar 0,33 ha/KK, di Aceh Tengah kira-kira 0,40 ha/KK dan di Aceh Barat memiliki luasan sebesar 0,51 ha/KK, di Sumatera Barat, pemilikan lahan nilam berkisar antara 0,02 ha sampai dengan 0,694 ha/KK (Sitorus, 1993). Keberagaman luas pemilikan lahan dan rata-rata sempit berakibat terhadap mutu minyak yang dihasilkan beragam juga. Di Indonesia tanaman nilam melibatkan sekitar 32.870 Kepala Keluarga, maka keberagaman lahan ditunjukkan oleh banyaknya KK tersebut.

c. Kemampuan teknis petani beragam

Disamping keberagaman luas pemilikan, kemampuan teknologi budidaya dan pengolahan nilam juga beragam. Akibatnya mutu yang dihasilkan juga beragam. Penelitian Sitorus (1993) melaporkan bahwa petani nilam di daerah Sumatera Barat, hanya sebesar 20,8% melaksanakan pemupukan, sisanya sebesar 79,2% tidak melaksanakan pemupukan.

Petani melaksanakan pemanenan nilam umumnya hanya sekali saja, yaitu pada umur 9 – 12 bulan, dan mereka beralasan bahwa pada panen periode ke dua hanya akan diperoleh hasil sebesar 30 % dari panen pertama. Sistim panennya adalah sistim pangkas habis.

d. Sistim ladang berpindah

Sitorus melaporkan bahwa di Sumatera Barat sebesar 58,3% mengusahakan tanaman nilam dengan pola ladang berpindah, sisanya sebesar 41,7% dengan pola menetap. Sedang Rusli et al. (1993) di Sumatera Barat juga memperoleh hasil bahwa sebesar 60% petani melaksanakan usahatani nilam secara ladang berpindah dan 40% lainnya secara menetap. Pola penanaman secara ladang berpindah-pindah, sebetulnya dimaksudkan untuk menghindari serangan penyakit budok yang menjadi kendala utama dan sangat berbahaya bagi tanaman nilam. Tetapi resiko sistim perladangan berpindah biasanya tidak memperhatikan aspek kesesuaian lahan, teknologi budidaya anjuran dan penggunaan bibit sembarang, akibatnya hasil minyak yang diperoleh rendah dan beragam.

e. Alat penyuling beragam

Industri pengolahan minyak merupakan industri keluarga dan terpencar diseluruh desa sentra produksi nilam. Keterampilan yang dimiliki penyuling berbeda, alat penyulingnya juga berbeda, ada yang sudah menggunakan bahan dari stainless steel tapi tidak jarang yang menggunakan dari bekas drum. Akibatnya mutu minyak yang diperoleh juga beragam.

f. Penipuan dan pemalsuan kualitas

Di samping industri-industri kecil dengan segala keterbatasannya menghasilkan minyak yang beragam, industri menengah dan besar dengan segala kelihaiannya melakukan praktek penipuan kualitas dan rendemen. Penipuan dilakukan dengan cara memalsukan rendemen sekaligus kualitas.

Bentuk pemalsuan tersebut dilakukan dengan cara menambahkan benda-benda asing kedalam minyak (Mustofa, 1988). Benda asing yang sering digunakan dalam praktek pemalsuan antara lain lemak, kerosin, terpentin dan pelarut organik lainnya (Makmun, 2003). Penambahan bahan-bahan tersebut dimaksudkan untuk menambah volume atau berat, yang berarti rendemen meningkat tetapi kualitasnya menurun.

Penyediaan produk tidak kontinyu

Mutu tidak menentu karena dicampur dengan benda–benda asing dan terjadinya fluktuasi harga, sangat mempengaruhi pasokan minyak nilam, secara langsung mengindikasikan penyediaan produk tidak kontinyu. Pencampuran dengan benda asing akan menurunkan karakter minyak nilam, menurunnya karakter minyak berarti permintaan menurun dan menunjukkan penyediaan produk tidak kontinyu. Padahal karakter yang tersaji dalam mutu minyak nilam yang prima yang dinyatakan dalam sifat fisika kimianya merupakan modal dasar daya saing pasar nilam kita. Pernah terjadi pengurangan permintaan dari salah satu industri parfum pelanggan, terhadap minyak nilam sebesar 25 – 40 ton per tahun, ini disebabkan reputasi dari agen pemasok jelek dalam hal penyediaan produk yang tidak kontinyu dan mutu yang kurang baik.

Harga berfluktuasi

Karena harga yang terjadi sering berfluktuasi, dengan kecenderungan menurun yang sangat tajam (Pujiharti et al., 2000; Supriadi dan Mustanir, 2004), dapat berakibat terhadap penelantaran lahan nilam mereka. Apabila terjadi penurunan harga minyak nilam dalam waktu yang lama dan terus menerus, biasanya petani nilam akan mengalihkan usahataninya ke komoditas lain yang lebih menguntungkan.

STRATEGI PENINGKATAN KADAR DAN MUTU DALAM AGRIBISNIS NILAM

Dalam suatu sistem agribisnis, nilai tambah (added value) yang terbesar berada pada sub sistem agribisnis hulu dan hilir, sedangkan sub sistim agribisnis usahatani sangat kecil, sehingga petani yang berada pada sub sistem ini akan selalu menerima pendapatan yang lebih rendah (Saragih, 2001). Demikian juga para agribisnis nilam, pada sub sistim pengolahan/ industri, sebetulnya banyak diperoleh nilai tambah. Walaupun masih ditemui kendala pada perolehan rendemen dan mutunya yang masih rendah. Oleh karenanya diperlukan beberapa upaya untuk meningkatkan rendemen dan mutu minyak nilam antara lain melalui

Budidaya

Penggunaan benih unggul.

Menyikapi kondisi tersebut, usaha– usaha untuk memacu penanaman varietas unggul sangat strategis dan penting sekali (Djisbar dan Seswita, 1998). Melalui eksplorasi, karakterisasi, uji multi lokasi dan evaluasi, ternyata tanaman nilam dari daerah tertentu saja yang mempunyai rendemen minyak tinggi (Syukur dan Nuryani, 1998). Pendapat tersebut didukung oleh Rumiati et al. (1998). Ternyata klon–klon nilam dari wilayah Aceh yang memiliki kadar minyak dan mutu yang tinggi serta memenuhi standar ekspor, diantaranya klon Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan (Nurjani et al., 1997) dengan rendemen 2,23 – 4,23%; 2,00 – 4,14% dan 2,07 – 3,87%. Sesuai dengan surat keputusan Menteri Pertanian RI No. 319 s/d 321/Kpts/SR. 120/8/2005 tanggal 1 Agustus 2005, telah dilepas tiga varietas unggul nilam dengan nama Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang dengan keunggulan–keunggulan sebagai berikut (Tabel 2).

Re-exposure of 0t2

Dengan penggunaan varietas unggul Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang, disertai teknik budidaya yang benar dan pengolahan panen dan pasca panen yang sesuai, maka akan diperoleh produksi minyak yang tinggi ± 176,47 – 583,26 kg/ha, produktivitas terna segar ± 31,38 – 80,37 ton/ha, berarti kadar dan mutu yang tinggi.

Menanam pada tanah dan iklim yang sesuai

Upaya pengembangan tanaman nilam agar berproduksi optimal, kesesuaian tanah dan iklim merupakan faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi (Rosman et al., 1998). Faktor tanah meliputi jenis tanah, drainase, tekstur tanah, air tanah, pH, C Organik, P2O5, K2O dan KTK. Sedang faktor iklim meliputi curah hujan, hari hujan, bulan basah, kelembaban udara dan temperatur. Oleh karenanya upaya untuk membuat tanaman nilam agar berproduksi optimal, mempunyai rendemen tinggi dan berkadar Pachoully Oil tinggi, adalah diusahakan ditanam pada ketinggian yang sesuai, jenis tanah yang memenuhi persyaratan dan iklimnya sesuai dengan persyaratan kesesuaian lahan dan iklim untuk tanaman nilam. (Rosman, 1998).

Sistim usahatani menetap

Untuk mendukung sistim pertanian menetap diperlukan paket teknologi yang lengkap,. Strateginya diarahkan pada efisiensi usahatani, perbaikan varietas dan teknik budidaya sesuai standar prosedur operasional (SPO). Dengan menggunakan varietas unggul dan teknologi budidaya sesuai SPO, maka rendemen dan mutu minyak akan meningkat.

Perlakuan pemupukan

Upaya meningkatkan rendemen minyak melalui rekayasa pemupukan akan meningkatkan rendemen minyak. Secara nyata dengan perlakuan kompos dari limbah nilam sebanyak 3 kg dan ditambah pupuk NKP dapat meningkatkan bobot segar tanaman. Mokoriza dengan pupuk kandang sebanyak 250 gr per tanaman akan meningkatkan bobot segar nilam.

Kandungan minyak tertinggi terdapat pada tiga pasangan daun termuda yang masih berwarna hijau (Wikardi et al., 1990), karena daun berwarna coklat sudah kehilangan minyaknya akibat radiasi sinar matahari terlalu tinggi. Cara panen terbaik adalah pemanenan pertama pada umur 6 bulan, tinggalkan satu cabang untuk menstimulir pertumbuhan tunas, selanjutnya panen ke dua setelah 3 – 4 bulan berikutnya.

Upaya untuk mempertinggi rendemen

Agar diperoleh hasil minyak yang optimal diperlukan perlakuan pendahuluan seperti pengeringan, pelayuan dan pengecilan ukuran (Ketaren dalam Nurdjanah dan Marwati, 1998) Hal ini perlu dilakukan karena kandungan minyaknya dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluh-pembuluh dan kantong minyak atau rambut grandular. Tanpa perlakuan pendahuluan atau dalam bentuk utuh pengeluaran minyak nilam hanya tergantung dari proses difusi dan proses tersebut berlangsung sangat lambat (Irfan, 1989; Nurdjanah dan Makmun, 1994).

Diperlukan penanganan yang baik terhadap bahan melalui perlakuan pendahuluan berupa a) pengecilan bahan, b) pengeringan bahan dan c) penjemuran kurang lebih satu minggu. Upaya penanganan bahan sehabis panen untuk mempertinggi kadar dan mutu minyak dilakukan melalui penjemuran, pelayuan dan pengecilan bahan melalui perajangan menjadi bagian yang lebih kecil. Apabila bahan hasil panen dijemur terlalu lama akan menurunkan kadar minyak tetapi akan meningkatkan kadar Pachoully Alkohol. Pachoully Alkohol merupakan fraksi berat dalam minyak nilam yang mudah menguap (Rusli dan Hernani, 2000). Kadar minyak yang tinggi sangat diharapkan oleh pengusaha/industri penyuling, sedang kadar Pachoully Alkohol yang tinggi sangat dicari oleh para eksportir. Sekarang tinggal bagaimana kita mengatur kebijakannya agar keduanya tidak saling dirugikan. Beberapa hasil uji terhadap lama pengeringan dan ada yang dikombinasikan dengan pelayuan. Semua uji memenuhi standar, baik kadar minyak atau kadar Pachoully Oil nya. Untuk dapat mengakomodir ke dua pihak yang berkepentingan antara pengusaha/industri penyuling dengan eksportir, maka strateginya adalah “win–win solution”. Perlakuan pendahuluan sebaiknya adalah bahan dijemur selama 2 hari dengan lama penyinaran antara 5 – 7 jam per harinya (Balittro, 2002).

Disamping cara, waktu penyulingan juga berpengaruh terhadap rendemen, bobot jenis, bilangan ester dan kadar Pachoully Alkohol. Makin lama waktu penyulingan, rendemen, bobot jenis dan bilangan ester yamg diperoleh makin tinggi. Tetapi dalam standar mutu minyak nilam Indonesia sudah ada batasan-batasan dalam persyaratan mutu minyak nilam untuk tujuan ekspor, yaitu bilangan esternya tidak boleh melebihi 10% dan bobot jenis minyak pada suhu 25°C berkisar antara 0,947-0,987, karena itu waktu/lama penyulingan seharusnya diatur sedemikian rupa agar hasilnya tidak melebihi batasan tersebut. Bahan dalam tangki juga berpengaruh terhadap waktu penyulingan, kepadatan makin banyak, waktu penyulingan makin lama. Oleh karena nya diperlukan simulasi terhadap kepadatan, dan salah satu solusinya adalah melalui pengecilan bahan dengan cara dirajang menjadi bagian yang kecil– kecil.

Pada proses penyulingan, perlu dipelajari/dibuat keseimbangan antara lamanya waktu penyulingan dengan batasan mengenai besaran maksimum bilangan esternya (10%) dan bobot jenis pada suhu 25o C berkisar antara 0,9 – 0,983.

Perbandingan bahan yang disuling harus tepat

Perbandingan optimum yang diperoleh menurut Rusli dan Hasanah (1977) antara daun dan batang adalah 1 : 0,5 sedang petani nilam di Sumedang biasa menggunakan perbandingan daun : batang dengan perbandingan 70 : 30.

Penggunaan alat dan metode penyulingan

Alat penyuling yang digunakan juga berpengaruh tehadap rendemen minyak yang diperoleh. Sampai saat ini ada tiga metode penyulingan minyak nilam, yaitu : 1) penyulingan dengan air, 2) penyulingan dengan uap langsung dan 3) penyulingan dengan uap tidak langsung. Penyulingan dengan menggunakan alat tangki stainless steel dengan uap langsung memberikan rendemen dan kadar Pachoully Alkohol lebih tinggi dibanding cara uap tidak langsung (dikukus) dan dengan air (Nurdjanah et al., 1991; Mangun, 2005). Metode penyulingan digunakan sesuai dengan kebutuhannya dan tipe instalasi yang digunakan.

  • Apabila menggunakan tipe instalasi kecil, dapat dipakai metode penyulingan dengan air dan metode penyulingan sistim kukus lebih menguntungkan. Metode penyulingan yang dianjurkan adalah bila dikukus lama pengukusan 5 – 6 jam, kepadatan bahan dalam ketel 90 – 130 g/l untuk 50 kg daun kering, kecepatan penyulingan 32 – 36 l/jam.
  • Untuk tipe instalasi besar penggunaan metode penyulingan dengan uap lebih menguntungkan. Jika menggunakan uap langsung menggunakan tekanan 1,5 – 2 bar kepadatan daun 50,5 kg/m3, lama penyulingan 4 jam.

Untuk menghindari keberagaman minyak hasil produksi petani, diupayakan dilakukan proses penyulingan dilakukan pada satu atau dua pemroses saja dalam satu wilayah, kelompok tani, desa atau kecamatan, kemudian dilaksanakan proses pemurnian minyak.

Apabila keberadaan minyak nilam hasil sulingan dipastikan beragam maka diperlukan sosialisasi mengenai upaya pemurnian minyak hasil sulingan melalui pemurnian minyak dengan cara flokulasi dengan menambahkan larutan Na-EDTA 0,05 M dengan perbandingan volume 1 : 1 diaduk selama 5 menit.

Sosial ekonomi

Pencegahan pemalsuan

Hasil penelitian Makmun (2003), diperloleh hasil bahwa pemalsuan terjadi pada tingkat pedagang pengumpul dan tingkat industri pengolah. Upaya strategi dan tindakan yang diambil ada 2 pilihan yaitu :

a. Penalty total. Maksudnya pada rantai/bagian mana terjadi pemalsuan langsung diberi tindakan tegas dengan melaksanakan pembekuan dan pencabutan izin terhadap pelaku kejahatan tersebut.

b. Eksportir dalam membeli minyak nilam diharuskan menggunakan standar mutu yang berbeda, untuk mutu yang lebih baik dihargai lebih tinggi dengan mutu yang kurang baik, walaupun kedua mutu tersebut masih masuk dalam standar mutu. Oleh karenanya diperlukan perbedaan harga untuk tingkatan kadar patchouli, bobot jenis, indek bias, bilangan asam dan bilangan esternya. Jadi setiap oknum pemalsuan yang ingin mencari untung dengan menambahkan benda asing kedalam minyak diberi penalty melalui penolakan pembelian atau dihargai lebih rendah dibanding dengan bahan yang sama tetapi bukan karena ada unsur penipuan.

Penyediaan produk agar tetap kontinyu

Minyak nilam kita merupakan produk ekspor sebesar 85,6% produk nasional ditujukan untuk ekspor. Indonesia menguasai perdagangan nilam dunia sekitar 75 – 90%, berarti Indonesia menguasai pasar suplai minyak. Supaya penyediaan produk tetap kontinyu, maka diupayakan pengembangan areal sekaligus produksi dan produktivitas.

Produk yang tidak terjual pada tahun bersangkutan dijadikan cadangan atau carry over stock untuk dijual pada tahun berikutnya. Disamping sebagai cadangan, dengan penyimpanan lebih lama akan menambah aroma wangi dan meningkatkan kadar Pachoully Alkohol.

Penstabilan harga

Karena Indonesia merupakan produsen terbesar sekitar 80 – 90% dari perdagangan minyak nilam dunia, sebetulnya tidak sulit untuk menstabilkan harga. Upaya penstabilan harga dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pembelian minyak nilam pada saat harga turun. Kemudian oleh minyak tersebut dijadikan stok dan tidak dijual/ ekspor sebelum harga betul-betul stabil.

KESIMPULAN

Beberapa upaya untuk meningkatkan rendemen dan mutu minyak nilam telah diperoleh antara lain melalui perbaikan teknologi budidaya, penanganan pasca panen, penggunaan alat dan metode penyulingan serta kebijakan di bidang sosial ekonomi.

Melalui perbaikan teknologi budidaya dilaksanakan dengan penggunaan bibit unggul yang sudah dilepas seperti varietas Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Kandungan kadar minyaknya cukup tinggi sekitar 2,07 – 4,23% serta kadar Pachoully Alkoholnya telah memenuhi standar ekspor yaitu sekitar 28,69 – 35,90%. Teknologi budidaya yang dianjurkan adalah dengan sistim usahatani menetap dan sesuai SPO termasuk kesesuaian lahan dan iklim.

Melalui penanganan pasca panen diantaranya adalah melalui metode pengeringan, pelayuan dan pengirisan bahan baku secara tepat. Bahan dijemur dibawah matahari dengan lamanya 5-7 jam per hari selama dua hari, bilangan esternya kurang dari 10% dan bobot jenisnya pada suhu 25º C berkisar antara 0,9 – 0,983.

Alat yang digunakan sejenis stainless steel dengan metode penyulingan secara uap langsung untuk tipe instalasi besar, sedang untuk tipe instalasi kecil disarankan menggunakan metode uap tidak langsung atau melalui dikukus terlebih dahulu. Untuk menghindari keberagaman minyak asal petani, dilakukan pemurnian dengan cara flokulasi/menambahkan larutan Na-EDTA.

Untuk mencegah agar tidak terjadi pemalsuan kualitas minyak dilakukan penalty total melalui pembekuan dan pencabutan ijin industri/perdagangan atau eksportir melaksanakan pembelian melalui pembedaan kualitas dimana kualitas jelek dihargai rendah, sedang kualitas bagus dihargai tinggi. Upaya agar persediaan produk tetap tersedia dilakukan melalui penstabilan harga.

SARAN

Masalah kadar dan mutu minyak nilam menjadi prioritas utama dalam pengembangan nilam, karena persaingan di dunia internasional semakin ketat.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Z.L., 1969. The market for pachouli oil and leaves. Tropical Product Institute Ministry of Overseas Development g 39. p. 4 – 23.

Anggraeni, Ch. Winarti dan Pandji Laksmanahardja, 1998. Karakteristik Minyak Nilam di Indonesia. Monograf Nilam 5 : 116 – 121.

Balittro, 2003. Agribisnis Tanaman Minyak Atsiri. Booklet. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 18 hal.

Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik Ekspor, Buku I Badan Pusat Statistik Jakarta. 19 hal.

Deperindag, 1993. Pengembangan mata dagang minyak nilam kawasan pasar masyarakat Eropa, Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Jakarta. 41 hal.

Dhalimi A., Anggraeni dan Hobir, 1998. Sejarah dan Perkembangan Budidaya Nilam di Indonesia. Monograf Nilam 5 : 1 – 9.

Djisbar A. dan D. Seswita, 1998. Perbaikan varietas. Monograf Nilam 5 : 10 – 15.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005. Statistik Perkebunan Indonesia. Nilam. Departemen Pertanian. Jakarta. 24 hal.

Irfan, 1989. Pengaruh lama keringanginan dan perbandingan daun dengan batang terhadap rendemen dan mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Skripsi Feteta IPB. 86 hal (tidak dipublikasikan).

Ketaren S., 1985. Minyak Atsiri. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri Balai Pustaka Jakarta. hal. 191 – 202.

Kindleberger, C.P. dan Peter, H., Lindert, 1991. Pemasaran Internasional.

Makmun, 2003. Identifikasi pemalsuan minyak nilam dirantai tata niaga. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. XIV (2) Bogor. hal. 17 – 22.

Mangun, H.M.S., 2005. Nilam. Hasilkan minyak berkualitas mulai dari teknik budidaya hingga proses penyulingan. Penebar Swadaya. 83 hal.

Mustofa, A., 1998. Pengolahan minyak atsiri pelatihan peningkatan mutu olahan hasil hutan bahan kayu berorientasi ekspor Deperindag. hal. 1 – 14 (tidak dpublikasikan).

Mustika I dan Y. Nuryani, 2006. Strategi pengendalian nematoda parasit pada tanaman nilam. Jurnal Litbang Pertanian XXV (1) : 7 – 15.

Nurdjanah, N., dan A. Rivai, Afifah dan Zamaluddin, 1991. Pengaruh cara dan waktu penyulingan terhadap rendemen dan mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). Buletin Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat VI (1) : 1 – 8.

Nurdjanah, N. dan T. Marwati, 1998. Penanganan Bahan dan Penyulingan Minyak Nilam. Monograf Nilam 5 : 100 – 107.

Nuryani Y. Hobir, C. Syukur dan I Mariska, 1997. Peningkatan kadar minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) melalui perbaikan varietas. Simposium dan Kongres PERIPI, Bandung 13 hal. (tidak dipublikasikan).

Pujiharti, Y., D.R. Mustikawati dan Hasanah, 2000. Peningkatan produksi dan peluang pengembangan nilam di lampung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (19) : 27 – 32.

Prawoto, A.A. dan M. Sholeh, 2006. Produksi Awal dan Kajian Ekonomi Usahatani Nilam Aceh Sebagai Tanaman Sela Kakao Muda. Pelita Perkebunan. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Vol. 22 (3) : 168 – 190.

Robbin, S. R.J., 1982. Selected market for the essential oil of patchouli and vetiver tropical product institute. Ministry of overseas.

Rumiati, S., D. Rusmin dan M. Hasanah, 1998. Sistem Perbenihan. Monograf Nilam 5 : 33 – 39.

Rusli S., dan M. Hasanah, 1977. Cara penyulingan daun nilam mempengaruhi rendemen dan mutu minyak. Pemberitaan Lembaga Penelitian Tanaman Industri XXIV. hal. 1 – 9.

Rusli S., N. Nurdjanah, Soediarto, D. Sitepu, S. Ardi dan D.T. Sitorus, 1985 Penelitian dan Pengembangan minyak atsiri Indonesia. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Vol 2 : 10 – 39
Rusli, S. dan Hernani, 2000. Pengolahan Hasil Tanaman Minyak Atsiri. Prosiding Teknologi Pengolahan Hasil Tanaman Perkebunan. Puslitbangbun. hal. 223 – 224.

Sait, S., 1978. Identifikasi bahan-bahan pemalsu di dalam minyak-minyak atsiri ekspor. Prosiding Seminar Minyak Atsiri III, Balai Penelitian Kimia. Bogor. hal. 319 – 324.

Sitorus, D.T., 1993. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Nilam di Sumatera Barat. Edsus vol IX (2) : 20 – 28.

Saragih, B., 2001. Agribisnis paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Pustaka Wira Usaha Muda. 243 hal.

Sumangat, D., Risfaheri, 1998. Standar dan Masalah Mutu Minyak Nilam Indonesia. Monograf Nilam 5 : 108 – 115.

Syukur C. Dan Y. Nuryani, 1998. Plasma Nutfah. Monograf Nilam 5 : 24 – 32.

Supriadi, Elly dan Mustanir, 2004. Strategi Pengembangan Menyeluruh Terhadap Minyak Nilam (Pachoully Oil) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Teknologi Pengembangan Minyak Nilam Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hal. 11 – 20.

Tjiptadi, 1985. Pengembangan usaha minyak atsiri. Hasil pertemuan konsultasi pengembangan tanaman minyak atsiri. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Vol 2 : 40 – 55.

Wikardi, E.A., A. Asman dan P. Wahid, 1990. Perkembangan penelitian tanaman nilam. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. 6 (1) : 23 – 29.

Wahono, C.T., I.N. Istina, G. Harahap dan E. S. Ritonga. Kajian Teknologi Pengolahan Nilam. Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. hal. 77 – 86.

Sumber : http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/atsiri-nilam/j-t-yuhono-dan-sintha-suhirman/

Sabtu, 11 Februari 2012

Surga Nilam di Latoma KendariSulawesi Tenggara

Surga Nilam di Latoma


Pernah dengan nama NILAM? Pasti pernah. Ada orang-orang di sekitar kita, entah anak, saudara, teman atau sejawat yang memiliki nama NILAM. Namun apakah ada yang tahu mengenai NILAM yang sebenarnya?

Ketika mendengar kata NILAM, saya berpikir NILAM adalah barang yang sangat berharga. Begitu juga jika seseorang memiliki nama NILAM, pasti namanya memiliki arti yang sangat indah. Mungkin karena kata NILAM sering digabungkan dengan kata PERMATA, menjadi NILAM PERMATA, sehingga saya pun berasumsi seperti tadi. Namun saya pun belum mengetahui seperti apa wujud benda NILAM itu. Apakah seperti EMAS, BERLIAN, atau BATU BERHARGA? Dan ternyata pertanyaan saya pun terjawab ketika saya mengunjungi Latoma, Kendari.

Ketika mobil kami mencapai Desa Pinole, Latoma, Kendari, kami melihat sekelompok masyarakat yang sedang meracik dedaunan hasil panen mereka. Hanya saja saya belum tahu dedaunan apa yang sedang mereka iris-iris. Ibu Nova, salah seorang adviser di Tim kami memberitahu saya bahwa kalau mereka sedang memanen tanaman NILAM yang nantinya akan dijual untuk dijadikan bahan minyak wangi dan minyak atsiri.

Saya takjub, oh jadi NILAM adalah nama dari tumbuhan toh! Bodoh sekali saya ini. Tidak tahu kalau NILAM adalah jenis tumbuhan yang dijadikan sebagai salah satu bahan utama dalam pembuatan minyak atsiri. Menurut wikipedia, Nilam (Pogostemon cablin Benth.) adalah suatu semak tropis penghasil sejenis minyak atsiri yang dinamakan sama (minyak nilam). Dalam perdagangan internasional, minyak nilam dikenal sebagai minyak patchouli (dari bahasa Tamil patchai (hijau) dan ellai (daun), karena minyaknya disuling dari daun). Aroma minyak nilam dikenal ‘berat’ dan ‘kuat’ dan telah berabad-abad digunakan sebagai wangi-wangian (parfum) dan bahan dupa atau setanggi pada tradisi timur. Harga jual minyak nilam termasuk yang tertinggi apabila dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya. Tumbuhan nilam berupa semak yang bisa mencapai satu meter. Tumbuhan ini menyukai suasana teduh, hangat, dan lembab. Mudah layu jika terkena sinar matahari langsung atau kekurangan air. Bunganya menyebarkan bau wangi yang kuat. Bijinya kecil. Perbanyakan biasanya dilakukan secara vegetatif.Akhirnya saya pun ikut excited dan langsung mengikuti jejak ibu Nova untuk mengambil beberapa gambar dari tumbuhan NILAM dan masyarakat yang sedang memanen dan meraciknya. Berikut dibawah ini saya pamerkan gambar-gambarnya yang lokasinya tidak hanya saya ambil di Desa Pinole namun juga di desa lain di Desa Angonga yang masih termasuk wilayah Kecamatan Latoma, Kendari. cekidot ;)

Masyarakat Desa Pinole sedang meracik NILAM sebelum siap dipasarkan.
Tumbuhan NILAM dan Dedaunan NILAM yang sedang dijemur dibawah terik matahari setelah dipanen.

Seorang ibu di Desa Angonga sedang menanam bibit NILAM di polybag.


Sumber : http://dhila13.wordpress.com/2011/09/30/surga-nilam-di-latoma/

Nilam Aceh akan Dipatenkan

Harga Minyak Nilam Bisa Tembus Rp 1 Juta

Wagub: Nilam Aceh akan Dipatenkan

BANDA ACEH - Harga minyak nilam diprediksi bisa mencapai Rp 1 juta mulai awal tahun depan karena dipicu menurunnya produksi nilam dunia. Sedangkan saat ini harga minyak nilam Aceh masih berkisar Rp 350.000-Rp 400.000/kg di tingkat pedagang pengumpul.

“Ini peluang yang perlu dicermati masyarakat Aceh, terutama petani nilam. Apalagi nilam Aceh dikenal mutunya terbaik di dunia,” kata Wagub Aceh, Muhammad Nazar kepada wartawan seusai membuka acara pembentukan Forum Perlindungan Nilam Aceh dan rencana sertifikasi indikasi geografis nilam Aceh di Gedung Serbaguna Kantor Gubernur, Senin (21/11).

Sumber dari Asosiasi Minyak Atsiri Indonesia menyebutkan, produksi minyak nilam Indonesia tahun 2011 hanya mampu mencapai 800 ton, padahal tahun lalu mampu memproduksi 1.000 ton. Sedangkan kebutuhan minyak nilam dunia sebanyak 1.500 ton per tahun, dari jumlah itu sebanyak 70 persen dipasok oleh Indonesia. “Dari jumlah produksi minyak nilam Indonesia itu, sebanyak 30-45 persen merupakan nilam yang dihasilkan petani Aceh,” kata Wagub Muhammad Nazar.


Menurut Wagub Muhammad Nazar, Pemerintah Aceh sedang berupaya untuk mematenkan nilam Aceh yang dikenal terbaik di dunia berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB). Langkah ini sebagai bentuk melindungi kekayaan indikasi geografis hasil pertanian yang dimiliki daerah ini. “Kalau ini berhasil, merupakan yang kedua dilakukan Aceh setelah kopi arabica Gayo,” kata Nazar.

Bupati Aceh Jaya, Ir Azhar Abdurrahman kepada Serambi secara terpisah mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah saat ini bukan memberdayakan petani nilam di Aceh untuk bisa meningkatkan produksi tetapi bagaimana menjamin harga nilam yang wajar dinikmati petani.

Menurut Azhar, soal produksi nilam Aceh tidak perlu dikuatirkan sebab petani nilam Aceh sudah pintar membudidayakan nilam secara baik. “Kalau harga bagus petani akan ramai-ramai menanamnya. Kalau sudah banyak yang tanam pasti produksi akan meningkat,” kata Azhar yang daerahnya termasuk salah satu penghasil nilam terbaik.

Azhar meyakini, naik turunnya harga minyak nilam secara drastis lantaran ada calo minyak nilam yang bermain, apalagi pangsa pasar nilam Aceh hanya bertumpu ke Medan. “Saya kira mata rantai perdagangan ini yang perlu dipotong. Artinya bagaimana bisa diupayakan nilam Aceh mampu diekspor langsung ke negara tujuan dan tidak lagi melalui perantara atau agen yang ada di Medan atau Singapura seperti yang terjadi selama ini,” katanya.

Azhar menyarankan program pemerintah ke depan yang perlu dilakukan adalah membina pengusaha yang kokoh dari pada menciptakan 1.000 petani yang tangguh. “Kalau ada seorang saudagar Aceh yang mampu menampung dan mengekspor langsung nilam ke negara tujuan, saya kira sudah selesai masalah ini,” kata Azhar.(sup)

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2011/11/22/harga-minyak-nilam-bisa-tembus-rp-1-juta

Teknik Baru Suling Nilam Rendemen 5 Kali Lipat

Teknik Baru Suling Nilam Rendemen 5 Kali Lipat


Penyuling rata-rata membutuhkan 50 kg daun nilam untuk memperoleh 1 kg minyak. Herdi Waluyo hanya memerlukan maksimal 10 kg daun. Luar biasa, rendemen penyulingan naik fantastis: minimal 5 kali lipat.




Sumber : http://www.trubus-online.co.id/trindo7/index.php?option=com_content&view=article&id=5887:teknik-baru-suling-nilam-rendemen-5-kali-lipat&catid=81:topik&Itemid=520


Alat penyulingan atau destilasi minyak nilam dan minyak atsiri


Alat penyulingan/ destilasi minyak nilam dan minyak atsiri

1. Alat penyulingan / destilasi minyak nilam dan minyak atsiri terbuat dari bahan baja dan stainless steel, dengan berbagai ukuran, yang dilengkapi dengan sistim pencegah kondensasi ( sistimjaket) dan penyebar uap guna meningkatkan rendemen minyak atsiri. harga tergantung ukuran dan bahan...

Keterangan gambar :

1. tutup atas tangki bahan stainless steel tebal 2mm dengan baut pengikat bahan ss
2. pipa pengeluaran destilat dan pipa pendingin bahan aluminium, diameter 3in; 2in; dan 1in panjang total 42m
3. sarangan bahan ss tebal 2mm disanggah siku 3x3cm
4. pipa kontrol ketinggian air maksimal dan buang uap dilengkapi dengan valve
5. pipa tap dilengkapi dengan valve
6. pipa api 3 unit bahan ss tebal 2mm diameter 20cm dan 15 cm.
7. pipa pemasukan air dilengkapi dengan valve bahan ss diameter 2in
8. pipa kontrol ketinggian air minimal, diameter 1in panjang 3m
9. ruang putar api keliling tangki bahan ss
10. Cerobong bahan besi diameter 30cm, panjang 5 m.

Catatan :
1. kolam pendingin terdiri dari 2 kolam, 4x4m dan 2x4m kedalaman air 1m dengan total volume air 24m3, dengan asumsi dalam 1hari 3x masak ( tanggungan pembeli)
2. bahan bakar bahan kayu atau batubara
3. dapur pembakaran bahan pasangan batu merah dengan landasan pembakaran bahan per mobil atau rel kereta ( tanggungan pembeli ) gambar dapur akan diberikan.
4. untuk kapasitas daun nilam 200kg ukuran tangki tinggi 240cm dan diameter 150cm bahan stainless steel. Harga rp60juta
5. untuk kapasitas daun nilam 100kg ukuran tangki tinggi 210cm dan diameter 115cm bahan stailess steel. Harga rp40juta
6. ongkos kirim belum termasuk.
7. proses penyulingan berlangsung 4 jam tidak termasuk bongkar muat bahan.
8. hasil minyak berkisar 2, 5% tergantung kualitas bahan baku dan cara penjemuran.

Pengoperasian alat:
1. katup pipa no 4 dibuka, isi tangki dengan air dengan membuka katup pipa no 7, sampai ketinggian air keluar dari pipa kontrol no 4. tutup katup pipa 7 dan katup pipa no 4.
2. masukkan daun nilam yang sudah dicacah kedalam tangki suling dengan kepadatan merata.
3. tutup tangki dengan rapat menggunakan baut yang tersedia. Pengencangan baut harus seimbang bersilang.
4. nyalakan pengapian dengan stabil dengan nyala masimal.
5. dalam waktu 30 menit destilat sudah keluar melalui pipa no 2 dan destilat tertampung pada pemisah minyak dan air
6. antara 1, 5-2jam air dalam tangki harus ditambah ditandai dengan bunyi pada pada pipa kontrol no 8
7. untuk isi air tambahan, kecilkan api seminim mungkin, buka katup pipa no 4 sisa uap keluar sampai habis, buka katup pipa isis no 7 sampai air meluber pada pipa no 4. tutup katup pipa no 4 dan no 7. pengapian dibesarkan lagi.
8. setelah 2 jam lagi ( total 4jam) pipa kontrol no 8 berbunyi tanda prose penyulingan telah selesai.
9. amati keluaran destilat pada pipa no 2, jika sudah tidak ada keluar destilat, maka tutup atas tangki suling bisa dibuka untuk mengeluarkan daun nilam yang sudah disuling.
10. minyak nilam pada tangki pemisah minyak bisa diambil terletak pada bagian atas.

Achmad Bisri, Surabaya 2008. telp 031-8298549/ 08882617317 . Jl. Jambangan baru 5 no.3-B Surabaya


Sumber : http://surabaya.indonetwork.co.id/cvrezasurabaya/211451/alat-penyulingan-minyak-nilam-dan-minyak-atsiri.htm